Hadir untuk pergi (Cerpen)



       Senin pagi, suara bising dari knalpot motor masih terdengar keras ditelingaku. Satu persatu keringat basahku bercucuran membasahi kemeja cokelat yang belum sempat kuseterika pagi tadi. Pukul 10: 12 berarti sudah dua jam aku terjebak dalam bus jurusan Bogor – Lebak bulus ini dan terpaksa melewati materi pertama di tahun ajaran baru.
     Sial! diawal perkuliahan masterku justru harus mengalami hal seperti ini. Dan lagi-lagi soal macet ibu kota yang entah kapan akan berakhir permasalahannya. Sambil menunggu lalu lintas kembali lancar, menghidupkan MP3 dengan suara khasnya Jason Marz mengalun melalui earphone handphone adalah satu-satunya cara untuk mengusir jenuh. Tiba-tiba pesan sms masuk dari Rio, kawan baru yang kukenal dua minggu lalu ketika sama-sama bertemu difakultas untuk menandatangani kontrak masa kuliah semester ini.
“ Yang melewatkan materi pertama kuliah pagi ini rugiiiii... haha, Sang dosen cantik jebolan Melbourne University telah menyihir para jejaka maba.” Aku tersenyum simpul, ada-ada saja kawan baru yang satu itu.
“ Kau belajar saja yang benar nak, kalau tak lulus mata kuliah itu, kuharap kampung halamanmu adalah tempat kembali terindah untukmu sob..haha” balasku canda.
  Belum sampai semenit, sms balasan masuk.
“ Oh.. tidak, tempat kembali terindah untukku adalah rumah asri sang mertua (rumah ibu dosen cantik)  .. haha”
“ Ngarep... kalo bu dosen sudah menikah gimana?” jawabku lagi. Lalu lintas kembali lancar, perlahan bus berjalan mulus, cepat kumasukan handphone kedalam saku celana.
 Beberapa penumpang sudah mulai turun satu persatu. Sms kembali masuk aku yakin dari Rio, abaikan sajalah jika telah sampai kampus akan aku baca nanti.
***

     “ Kemana saja kau Jam segini baru datang?” Rio menghampiriku dengan dua botol aqua air mineral ditangannya. Duduk dibawah pohon rindang taman kampus sambil menikmati angin yang berhembus sepoi adalah pilihan pertama yang selalu kulakukan ketika sampai kampus dijam-jam siang seperti ini.
“ Macet..” jawabku sekenanya. Rio duduk dihadapanku dan menyodorkan aqua yang dibawanya.
“ Makasih yo “ tanpa babibu, sebotol aqua air mineral ludes seketika, Rio menatapku sambil sesekali menggelengkan kepalanya.
“ Namanya bu Citra. Doktor termuda difakultas ini, umurnya 26 tahun. Lulus SMA 17 tahun, lulus kuliah s1 ditempuh 3 tahun di Ausie, umur 24 lulus s2, sekarang mengajar master disini, mantep tho??”  lanjut lelaki berdarah manado itu membeberkan biodata sang dosen, tanpa kutanya sebelumnya.
“ Haha.. yo.. yo.. hafal sekali kau!”
Aku jadi penasaran seperti apa wujud dosen cantik yang sedang dikagumi kawan baruku ini. Cerdas sekali wanita itu, diumurnya yang masih muda sudah menyelesaikan program doktoralnya. Salut!
****

        Beberapa meter dari fakultas pascasarjana ada telaga indah. Disetiap tepinya tumbuh pepohon rindang menghiasi jernihnya air telaga, dan duduk lesehan beralaskan rumput hijau yang tumbuh memenuhi taman samping telaga merupakan kebiasaan lamaku sejak dulu. Aku ingat sekali, setiap akhir pekan aku dan  beberapa teman satu kosan sering kesini untuk jogging atau lari-lari mengitari telaga yang airnya hijau kebiruan. Kampus ini memang sudah tak asing bagiku, meskipun saat s1 dulu aku tidak kuliah dikampus ini namun tiap akhir pekan kami sering menghabiskan waktu disini.
         Dan pagi ini rutinitas yang sudah beberapa bulan kutinggalkan itu kini kembali kulakukan, Lari pagi mengitari telaga. Kuhempaskan tubuhku dirumput usai beberapa putaran, taman masih sepi hanya ada beberapa orang yang sedang lalu-lalang melakukan hal yang sama sepertiku tadi.  Kuintip arloji kecil ditanganku, pantas saja ternyata baru pukul setengah tujuh. Aku kepagian. Baru saja aku hendak kembali berlari tiba-tiba seseorang menghampiriku.
“ Assalamu’alaikum.. maaf, apakah  anda awan?” tanya seorang wanita padaku.
Aku terkejut. Bukan, bukan karena ia mengetahui nama kecilku dulu, melainkan karena seorang yang berdiri dihadapanku ini adalah dia, dia yang dulu membuat semangat hidupku sirna tak berbekas. Sedetik.. dua detik.. tiga detik.. empat detik.. hingga hampir semenit aku bisu tak berkutik. Pikirku melayang ke delapan tahun silam.

               Sebuah surat tergeletak diatas meja belajar siang itu. Amak bilang neng  yang mengantarkannya kemarin sore.  Kubuka perlahan surat tersebut, tak kupedulikan lelah tubuh ini yang baru saja pulang mengatar uwak pulang kekampung halamannya di tanah jawa sana.
“ Assalamu’alaikum kang, maafin neng nya. Saat akang baca surat ini mungkin neng sudah berada di Ibukota. Malam kemaren ada tamu datang kerumah. Mereka menawarkan pendidikan yang cerah pada neng diJakarta, awalnya neng gak tertarik, sebab neng sudah janji ka akang akan sekolah bareng kemanapun itu. Tapi neng tak bisa membantah, abah ingin neng ikut mereka. Sekali lagi neng minta maaf. Neng gak akan lupain akang sampai kapanpun. Wassalam”
   Singkat, padat dan tak jua bertele-tele isi suratnya, namun sejak membaca surat itu hidupku terasa hampa. Aku tak habis pikir, sudah hampir 10 tahun kami menjalin hubungan, tapi dengan mudahnya ia hancurkan begitu saja. Janji-janji yang selama ini kita buat begitu ringannya ia lupakan. Aku ingat sekali saat itu dia berkata
“ Kang, janji ya gak akan ninggalin neng?” aku mengangguk, sambil sesekali menatap mata kelincinya yang berkaca-kaca.
“ Akang janji, kita akan kuliah bareng, memilih universitas yang sama, kamu akan menjadi dokter, akang akan jadi insinyur dan yang paling penting kemanapun kita berada kita akan terus bersama” jawabku meyakinkan. Saat itu usiaku 17 tahun dan neng hanya berbeda satu tahun dibawahku. Sejak kecil kami bersahabat, rumahku bersebelahan dengan rumahnya, kami berangkat sekolah bareng, mengaji bareng, bermain bareng, pergi kesawah bareng. Kemanapun dan apapun pekerjaannya kami selalu lakukan bersama. Jika salah satu diantara kami tak ada, maka teman- teman kami akan bertanya “ Wan, neng kamana?” atau “ Neng, kok gak sama awan?”.        

      Neng adalah anak sulung dari dua bersaudara sedangkan aku anak bungsu dari tujuh besaudara. Keluargaku dan keluarga neng sudah seperti saudara. Maka tak heran jika aku dahulu sering keluar masuk rumah neng, begitu juga dengan neng. Orang tua nengpun sudah seperti orangtuaku. Aku memanggil mereka dengan dengan sebutan Abah dan Umi sama seperti neng dan adiknya. Abah  umi neng adalah orang yang berpendidikan sangat berbeda sekali dengan orangtuaku yang tak bersekolah. Namun otakku justrulah yang lebih encer dibanding neng yang seharusnya lebih pintar dariku karena orangtuanya pintar. Kenyataannya aku selalu juara kelas sejak Sekolah dasar hingga sekarang menginjak bangku SMA dan neng selalu kalah saing kepadaku. Dan tak heran jika abah neng begitu mempercayaiku untuk mengajari anak putrinya itu. Tiap malam kami mengadakan les dirumah neng dan aku tutornya. Teman-teman sekelas kami datang dan ketika jam sudah menunjukan pukul 10 malam mereka pulang kerumah masing-masing. Sore hari setelah asar mereka datang kembali untuk belajar mengaji Al-qur’an pada abahnya neng. Dan jika abah sedang berhalangan karena harus mengisi pengajian dikampung sebelah, maka akulah yang ditunjuk beliau untuk menggantikannya mengajar ngaji, sebab memang hanya akulah bacaannya yang sudah benar dan lancar.
     Namun ketika kami sudah mulai beranjak dewasa, abah memanggil kami menasehati bahwa ada batasan-batasan antara laki-laki dan wanita yang harus kami ketahui dan tentu saja kami patuhi, terlebih saat itu kami memang sudah akil baligh.
“ Abah percaya sama anak abah yang pinter ini” Ujar abah suatu hari padaku sambil tangannya mengusap pundakku.
“ Awan sudah abah anggap seperti anak abah sendiri, sejak kecil awan sering bantu abah mengajar dirumah, membantu umi tiap tamu abah datang untuk menyuguhi teh dan kopi, juga bantuin neng dan adeknya belajar tiap malam. Namun, tetap saja awan dan neng ini bukan muhrim, bukan saudara kandung. Jadi, ada batasan yang harus awan dan neng patuhi terlebih kalian sudah dewasa. Awan mengerti?” tanya abah padaku. Aku mengangguk.
“ Iya bah, awan ngerti. Awan juga sudah pernah belajar masalah tersebut dari guru agama awan disekolah bah” jawabku. Kulirik neng sesaat, gadis itu hanya menunduk.
“ Neng juga, sekarang neng gak boleh lagi keluar masuk kamar kang awan ya, gak boleh lagi buka jilbab kalau kang awan sedang dirumah ini, rambutmu itu aurat. Juga tidak boleh lagi pergi atau melakukan kegiatan apapun itu hanya berduaan dengan kang awan, neng harus minta temani fatih adik neng atau umi atau siapapun. Neng ngerti?” tanya abah pada neng, ia tersenyum malu-malu.
Kuakui neng memang sangat sering masuk kamarku, sekedar untuk menggangu belajarku atau bahkan hanya untuk menggodaku dengan intan, seorang wanita yang juga teman sekelas kami di sekolah, yang menyukaiku dan sering mengirimiku surat cinta namun tak pernah kubalas, dan aku selalu mengucel kepala neng yang terbungkus jilbab jika ia menggodaku.  Jelas saja tak kuhiraukan intan, sebab gadis yang kusuka saat ini memang ia yang sedang berada dihadapanku. Setelah ini kami tertawa bareng dan saling kejar-kejaran.
Ahh... sejak kapan hatiku mulai merasa aneh, neng sahabatku, bahkan kuanggap seperti adikku walau aku sendiri tak punya adek,  dan siapa yang sangka jika neng yang manja, neng yang cengeng, neng yang jail dan menggemaskan kini telah tumbuh menjadi gadis desa yang manis dan mempesona. Suara cemprengnya kini malah terdengar merdu, dan aku selalu tak bisa tidur jika sehari saja tak mendengar suaranya. Perubahan itu... aku tak mengerti, sejak kapan itu terjadi. Oh neng..
               Dan semua kedekatanku dengan neng hilang lenyap begitu saja ketika kenyataan berkata bahwa neng meninggalkanku. Tiba-tiba abah menyuruh gadis itu untuk melanjutkan belajarnya di ibukota, padahal sebentar lagi kami akan menghadapi ujian akhir sekolah. Sejak itu aku tak lagi semangat belajar hingga imbasnya ujianku gagal dan terpaksa aku harus mengulang kelas satu tahun lagi. Dan siapa lagi kalau bukan nenglah penyebab yang membuat hidupku dan kegagalanku saat ujian. Seminggu kemudian abah dan umi pindah rumah ke Jakarta menyusul putrinya, tanpa kabar, tanpa alasan mereka pindah. Aku semakin terpuruk, sinar harapan kini menghilang, aku sakit. Aku merasa bahwa neng sudah berkhianat, ia tak tepati janjinya. Intinya ialah penyebab kegagalanku.

****

      Aku tergagap menyadari diriku masih mematung berdiri dihadapan seorang wanita yang masih menungguku berbicara. Ia mengulangi tanyanya.
“ Maaf, anda kang awan?” Aku kembali tersentak
“ Ee..ee... ka..kamu NENG?” Tanyaku balik terbata, wanita dihadapanku menunduk kemudian mengangguk. Aku kembali terdiam, kuperhatikan lagi ia untuk memastikan bahwa yang berdiri dihadapanku memang benar neng, teman kecilku dulu.
“ Iya..saya neng, neng teman kecil kang awan. Akang apa kabar?” tanyanya kembali. Ternyata aku benar, kini yang kurasa persendianku seakan melemas, udara sejuk pagi ini tiba-tiba terasa memanas.
“ Maafkan saya kang” lanjut wanita tersebut, pelan, bahkan suaranya hampir tertelan berhembus bersama angin. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, setelah 7 tahun kami tak bertemu lalu kemudian tiba-tiba ia hadir. Sesak didada ini masih berbekas. Dan aku tak pernah bisa melupakannya. “ Maaf.. “ jawabku.” Aku harus pergi” Fyuuh.. lanjutku akhirnya.
Aah.. aku belum bisa. Aku belum siap dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Mengapa segala sesuatunya mudah sekali baginya, pergi kemudian datang. Dan darimana dia tahu aku disini?. Kutinggalkan dia sendiri disana, wanita itu sepertinya juga kaget melihat reaksiku. Aku tak peduli, rasanya ingin kubalas saja sakit dihati ini. kulaju sepeda motorku kencang. Mengapa tiba-tiba mataku berembun. Bayang-bayang gadis kecilku berkelebat, berslide-show dimemoriku. Namun cepat seketika kutepis, rasa sakitku, kegagalanku itu semua dialah penyebabnya. Dia yang telah merenggutnya dariku.

***

        Semalaman aku tak bisa tidur, setelah pertemuanku yang secara tiba-tiba dengan neng minggu lalu aktifitasku jadi sedikit terganggu. Kenangan masa kecil saat bersama terus menari-nari diotakku. Aku tak daya. Aku tak pernah menyangka akan bertemu disini, ditempat yang menurutku paling pas untuk menghilangkan segala bayangannya. Ah aku harus menepisnya. Kuputuskan hari ini semua tentangnya aku tak lagi peduli, dan jika seandainya suatu hari nanti aku bertemu kembali dengannya aku akan berlagak seakan tak pernah mengenalnya.
   Hujan sore ini mendinginkan otakku, aku bersyukur hari ini tak lagi telat masuk kelas. Beruntung kelas pun masih sepi hanya ada beberapa mahasiswa yang terlihat sibuk membaca diktat kuliah, ada pula yang sedang asyik dengan gadgetnya. Kupilih kursi pojok kanan dan segera membuka tasku. Kelas mulai ramai, Rio dan beberapa temanku berjalan satu persatu mencari tempat yang tepat untuk belajar.
“ Yo, disini saja!” ujarku pada lelaki bertubuh subur itu, dia mengangguk
. “ Tumben kau gak telat..” ledek anak itu, kami tertawa.
Tiba-tiba kelas yang gaduh ini berubah hening begitu langkah kaki terdengar memasukinya.          
“ Assalamu’alaikum.. selamat sore semua!” ujarnya.        
 “ Wa’alaikumsalam sore bu..!” Koor teman-temanku serentak menjawab salam, aku pun ikut membalasnya walau mataku masih terpaku pada rentetan tulisan dalam buku ditanganku.
“ Itu dia dosen cantik kita, asistennya Mr. Atho yang dari ausie” Ujar rio berbisik ketelingaku.
Aku penasaran seperti apa rupa wanita yang akhir ini dibicarakan teman sekelasku. Aku gelagepan. Aku yakinkan pandanganku sekali lagi dan hampir saja buku ditanganku terjatuh kelantai ketika retinaku tepat bertemu dengan mata wanita  yang duduk dimeja dosen itu. Kulihat ia juga tersentak kaget melihatku. Ada jutaan aliran volt yang mengaliri darahku. Wanita itu benar-benar dia. Tersenyum ramah pada tiap mahasiswa yang menanyakan beberapa materi.
***

  Aku terjerembab pada pusaran waktu yang mengantarkanku dalam sujud panjang Malam ini. kelas berakhir dengan kacau, aku tak fokus. Penjelasan teori Proffesor Hungtinton tentang benturan peradaban dunia islam dan barat yang disampaikan oleh wanita itu tak masuk sama sekali diotakku. Aku hanya dapat duduk mematung dengan pikiran yang entah mengembara kemana meski sesaat mataku sempat terpaku pada sosok wanita yang kini sudah berubah. Jilbab panjang yang hampir menutupi 1/3 tubuhnya, suara tegasnya saat mentransfer materi kuliah, juga sikap salah tingkahnya saat beberapa mahasiswa menggodanya.
Malam ini usai kuliah aku tak langsug pulang kerumah, pikiranku kalut jadi kuputuskan saja untuk bergegas menuju masjid kampus menenangkan jiwa dengan beberapa ayat suci Al-qur’an setelah menunaikan isya dan 2 rakaat sunnah rawatib. Kuhempaskan tubuhku  bersender pada tiang masjid yang masih ramai walau jam sudah menunjukan pukul setengah sepuluh malam.
Jadi, bu citra yang dibicarakan rio itu dia, doktor muda jebolan melbourne itu dia, dia  yang selama ini kukenal dengan panggilan neng saat tinggal di Bogor dulu. Yah Citra, Citra humairah yang  kini telah menjadi dosen sementaraku menggantikan Proffesor Atho yang sedang berhalangan mengajar. Aku merasa dunia ini begitu sempit. Baru saja kuputuskan untuk melupakannya, ia hadir kembali bahkan aku akan sering bertemu dengannya sebab ia dosenku. Aku kalut.
***


  “ Kang, saya mohon tunggu sebentar!”
Beberapa temanku memperhatikan neng atau citra yang berlari mengejar langkah kakiku setalah kelas berakhir. Mereka mungkin penasaran mengapa tiba-tiba citra memanggilku. Aku berhenti sesaat tanpa menoleh.
“ Saya .. ee..sayaa.. mmaau bi.. bicara, bisa mminta waktunya sebentar?” Ujarnya lagi terbata. Aku masih terdiam.
“ Saya mohon..!” lanjutnya lagi memelas. Mata kelinci itu.. wajah teduhnya., aku tak daya untuk mengelaknya.
“ Baik, bicara saja disini!” Jawabku singkat. Citra menunduk, matanya berkaca-kaca.
“ Iya, saya salah. Saya minta maaf. Saya mohon kamu maafkan saya.” Lanjut citra lagi, suasana kikuk, kami sama-sama canggung. Mengapa jadi begini? Tuhan..Aku tak mengerti.
“ Tujuh tahun yang lalu. saat teman abah datang.. mereka ternyata orangtua saya yang sebenarnya. Dan saya harus kembali pada mereka. Saya pun terkejut sekali selama ini abah tak pernah cerita sedikitpun, abah sudah seperti orangtua kandung saya. Saat itu saya seakan tersambar petir mendengar pengakuan abah dan umi. Dan apa yang bisa saya perbuat? Mengelak? Tak mungkin.. sebagai anak yang hanya bisa saya lakukan adalah mentaati perintah abah dan kembali pada orangtua kandung saya. Sejak itu saya lanjut sekolah dijakarta, lalu kemudian melanjutkan kuliah saya ke Autralia ikut ayah kandung saya yang bertugas disana.”
Pengakuan citra barusan menghentakku.
“ jadi, kamu tinggal di Ausie selama ini?” Tanyaku balik, yang dijawab anggukan oleh gadis itu
“ Ayah seorang dokter di LSM Mercy, beliau relawan bidang kesehatan indonesia untuk negara-negara konflik. Sementara ibu, Ayah bilang ibu meninggal saat melahirkan saya, sejak itu saya diasuh oleh abah umi, dan ayah pergi ke palestina untuk membantu korban peperangan disana. Kang, apa salah saya begitu besar hingga buat akang tak lagi melihat saya? Bahkan tak menganggap kehadiran saya saat dikelas tadi,” Aku tertegun mendengar pertanyaannya, citra mengusap matanya yang berembun, dia menangis. pelan sekali ia bicara agar tak ada seorangpun yang mendengar karena saat itu kami masih berdiri dilobi depan kelas. Aku terdiam, citra kembali bicara
“ Saya tidak tahu harus bagaimana lagi? Namun saya sangat bersyukur karena Allah masih mempertemukan saya dengan kakak saya”
“ Mengapa selama ini kamu tak pernah memberiku kabar?” Tanyaku lagi.
“ Saya gak tahu harus mengirim pesan lewat apa? Saya tidak tahu alamat emailmu. Dan jika ingin menelpon, dengan nomer yang mana?. Abah umi bahkan tak punya telepon dirumah, kang.. saya mohon... maafkan saya, maafkan saya karena tak menepati janji-janji kecil dulu” Ujarnya lagi, aku tergugu. Satu-persatu kebencianku memudar. Egois rasanya memang, jika aku tak sampai memaafkan gadis ini. sudah banyak kejutan- kejutan kehidupan yang dia hadapi, kenyataan bahwa ternyata abah umi bukan orangtua kandungnya, dan harus berpisah jauh dengan oarang yang sudah membesarkannya. Ah.. neng yang manja, neng yang mudah sekali menangis kini telah mewujudkan cita-citanya walau bukan menjadi dokter.
Neng citra humairah.. seorang dosen muda dikampusku.
Aku tersenyum.

***

        “ Jadi, bu citra itu saudaramu Rey? Kok kamu gak beritahuku? Kenapa selama ini kamu diam saja?  Jahat kau tak beritahuku sebelumnya, kalau begitu kan aku tak perlu repot-repot menyuruh ibuku menyebrang lautan dari manado ke jawa untuk melamarnya untukku” Rio mencecariku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Apa? Melamar? Rio bilang, ia akan melamar citra? Ah.. aku tak terima!.
Tak terima? Hey apa denganku? Neng hanya cinta masa kecilku, adikku. Benarkah aku masih menyayanginya kini? Sayang ini bukan sayang seorang kakak pada adikknya.
Aku tersenyum, simpul. Rio masih disampingku membujukku agar aku terus menceritakan padanya tentang citra.
***          

     Malam itu kuceritakan pada amak lewat telepon tentang pertemuanku dengan neng, dari saat pertemuan ditelaga hingga neng yang kini ternyata jadi dosenku. Amak senang sekali mendengarnya, ia menitip salam rindunya padaku buat neng yang sudah seperti putri kandungnya,  aku bahagia. Beberapa abangku yang ikut nimbung berbicara meledekku pada neng. Diakhir perbincangan aku berkata.
“ Mak, aku menyukai neng, aku mau ia selalu bersamaku, bukan sebagai adik, bukan pula sebagai tetangga. Aku mau ia menjadi teman hidupku, makmumku, dan ibu untuk anak-anakku, amak mengerti kan maksud Awan? Awan mencintai neng” Ujarku serius.
Dijujung telepon sana aku yakin amak kaget mendengarku. Bahagiaku bercampur haru.
“ Amak juga menginginkan hal yang sama, nanti akan amak lamarkan neng lewat wak haji buat kau, Nak..”
Aku tersenyum mendengar jawaban amak.

***        

      Minggu pagi, sebuah mobil berhenti dipekarangan rumah yang baru kubeli beberapa bulan yang lalu, hasil jerih usahaku bekerja sebagai konsultan disebuah perusahaan swasta di Ibukota. Seorang wanita muda turun dari mobil berjilbab biru muda senada dengan warna gamis yang dikenakannya. Aku senang sekali.. Citra menepati janjinya untuk bertandang kerumahku.
Tapi.. citra tak sendiri, Ia bersama seorang lelaki muda kisaran usiaku. Siapa pemuda itu?
Kubukakan pintu dan dengan cepat kupersilahkan citra  dan lelaki berkacamata itu masuk.
“Kang, maaf ya ganggu.. Mau jogging ke telaga ya?” Citra dengan senyuman indahnya menyapaku. Aku menggelang cepat.
“ Tidak!.. tidak kok, mari masuk.. ini rumah akang. Anggap saja rumahmu sendiri!” jawabku malu-malu.
Hari ini memang sebenarnya rencanaku hendak jogging lari pagi mengitari telaga. Tapi rasa mulas diperutku sejak subuh tadi mengurungkan niatku.
“ Neng,.. Ini siapa?” Tanyaku pelan, penasaran pada neng yang tak jua mengenalkan lelaki yang berdiri disampingnya.
“ Dia Rendra, anaknya prof. Atho!” Neng menjawab berbisik. Aku mengangguk, pantas neng mengajak lelaki itu, sebab dia anaknya Prof. Atho dan neng sendiri kini telah menjadi dosen pengganti beliau.
Aku mengenalkan diri pada lelaki disamping neng, hal yang sama pun dilakukan dia padaku.
“ Reyhan sahab, tapi panggil saja saya awan..”
“ Saya Rendra..!”
Neng duduk dikursi, disusul Rendra.
“ Kang.. Mas rendra ini suami neng. Kami baru saja menikah sebulan yang lalu.” Neng tersipu berujar. Wajahnya bersemu merah.
Aku tersentak kaget .
“ Ssu... sssuami?” Tanyaku memastikan.
“ Iya kang..” dijawab oleh rendra yang tersenyum bahagia menatap neng.
Oh Tuhan..! tidak! Neng sudah menikah, dan lelaki disampingnya ini adalah suaminya. Lalu, lalu bagaimana denganku? Jiwaku terguncang, aku merasa selongsong tulang-belulangku dilepas satu-persatu, ngilu, pandangan mataku buram, rasa mual dan perih diperutku kembali hadir.  Dan seketika suasana menjadi gelap, hitam dan pekat. Aku tak sadarkan diri.

Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Drama ( keteguhan iman keluarga Yasir Bin Amr)

Contoh Surat Rapat Pembentukan Panitia PHBI

Makalah sejarah dan perkembangan ilmu tafsir