Episode 2
Sekolah masih sepi. Alba kecil dipergelangan tanganku baru
menunjukkan pukul 06.11. Masih terlalu pagi. Kuputuskan untuk duduk santai
menunggu bel masuk berdering di kantin tepi kolam ikan. Hanya ada beberapa
pedagang yang sedang beres-beres.
“ Bu, bisa pesan secangkir teh?” Kataku pada wanita berusia lima puluh tahun. Bu inah, anak-anak biasa memanggilnya.
“Bisa. . . Tumben nih Miss Wifa pagi-pagi udah sampe sekolah . . .” Ujar bu inah. Kujawab dengan senyuman. Satu-persatu para siswa mulai berdatangan. Tersenyum ramah, menyapa lalu salim saat kebetulan lewat didekatku.
“ Assalamu’alaikum, Miss. Morning...” Kalimat yang sama diucapkan kebanyakan siswa. “ Yees, Alaikumussalam, dear..” Jawabku sekenanya.
SMA Soedirman Bekasi, Sekolah ke-5 aku mengabdikan diri setelah menyelesaikan kontrak disekolah sebelumnya. Sepekan hanya 3 hari pertemuan mengajar setelah namaku sah terdaftar di Universitas untuk melanjutkan studi master. Karena jadwal kuliah 2 kali pertemuan dalam sepekan, kuputuskan untuk tidak terlalu fulltime disekolah. Sementara untuk menambah pemasukan dan tambahan biaya kuliah, bersama teman-teman kami membuat QLC atau Qur’an Learning center semacam lembaga pendidikan untuk siapapun yang ingin belajar tahsin dan tahfidzh Al-Qur’an. Ditambah dengan privat mengaji disana-sini. Alhamdulillah.. walau tidak sebesar expectasiku, namun cukup untuk ongkos pulang-pergi Bekasi- Tanggerang.
“ Bu, bisa pesan secangkir teh?” Kataku pada wanita berusia lima puluh tahun. Bu inah, anak-anak biasa memanggilnya.
“Bisa. . . Tumben nih Miss Wifa pagi-pagi udah sampe sekolah . . .” Ujar bu inah. Kujawab dengan senyuman. Satu-persatu para siswa mulai berdatangan. Tersenyum ramah, menyapa lalu salim saat kebetulan lewat didekatku.
“ Assalamu’alaikum, Miss. Morning...” Kalimat yang sama diucapkan kebanyakan siswa. “ Yees, Alaikumussalam, dear..” Jawabku sekenanya.
SMA Soedirman Bekasi, Sekolah ke-5 aku mengabdikan diri setelah menyelesaikan kontrak disekolah sebelumnya. Sepekan hanya 3 hari pertemuan mengajar setelah namaku sah terdaftar di Universitas untuk melanjutkan studi master. Karena jadwal kuliah 2 kali pertemuan dalam sepekan, kuputuskan untuk tidak terlalu fulltime disekolah. Sementara untuk menambah pemasukan dan tambahan biaya kuliah, bersama teman-teman kami membuat QLC atau Qur’an Learning center semacam lembaga pendidikan untuk siapapun yang ingin belajar tahsin dan tahfidzh Al-Qur’an. Ditambah dengan privat mengaji disana-sini. Alhamdulillah.. walau tidak sebesar expectasiku, namun cukup untuk ongkos pulang-pergi Bekasi- Tanggerang.
Aah. Perjuanganku menempuh master
ini cukup rumit. Berawal mendaftar diawal tahun 2015, lalu gagal karena terikat
kontrak mengajar yang sudah terlanjur kusepakati diawal tahun ajaran. Dan pertengahan
2016, kembali kucoba daftarkan diri mengikuti seleksi beasiswa magister di
sebuah perguruan tinggi, namun gagal lagi karena telat datang setengah jam saat
tes akibat terpaksa memutar arah menghindari razia karena surat izin mengemudi
belum kukantongi. Hampir saja kubatalkan niat untuk melanjutkan pendidikan ini
saat tiba-tiba seseorang yang sudah sangat kukenal sejak 5 tahun lalu
mengomentari status facebookku tentang keterlambatanku mengikuti tes seleksi.
“
Sabar, Fa. Semua yang terjadi hari ini Qadarullah. Ambil hikmahnya dan tetap
semangat untuk menuntut ilmu. Qul bifadhlillah wa masyiiatillah khair, Insya
Allah” Ujarnya saat itu seakan memompa semangatku begitu membaca kalimatnya.
Setelah Pesan yang kukirimkan 4 tahun lalu tentang isi hati ini, tak pernah
lagi ia membalas pesanku. Bahkan sekedar say hallo atau tanya kabar saja tidak.
Padahal ia terkenal low profile, ramah dan mudah bergaul. Karena sifat inilah
ia diangkat sebagai ketua koalisi mahasiswa se-Indonesia. Ia hanya ramah dengan
yang lain, dan tidak denganku.
Ah, biarlah. Ia hanya masa lalu. Orang bijak bilang, masa lalu tak
perlu kau lupakan, cukup jadikan pelajaran untuk kehidupan lebih baik lagi. Dan
hamdan Lillah, saat ini aku sudah
disemester tiga kuliah masterku. Dan ingin fokus terlebih dahulu pada studi yang
sedang kujalani kini. Bismillah.
***
“Mbak, maghrib di Fathullah yuk!” Ajak seorang wanita kisaran 25 tahun, Muyassarah namanya. Teman sekelas di pascasarjana yang kukenal tahun lalu ketika tes masuk kampus.
“Aku perhatikan Mbak Wifa akhir-akhir ini banyak melamun. Lagi ada masalah yah?” Lanjut wanita asal Lombok itu. Aku cuma menggeleng dan tersenyum. Mana mungkin aku ceritakan padanya kalau sedang ada seseorang yang mengusik hatiku beberapa hari ini. Seseorang yang baru kukenal sebulan ini, dan mungkin muyassarah mengenalinya juga.
“ Ndak apa-apa cerita aja, Mbak. Siapa tahu aku bisa bantu..” Muyassarah terus medesakku, lagi-lagi aku hanya menggelang. Sambil memastikan padanya aku baik-baik saja, tidak sedang mempunyai masalah.
“ Ya sudah. Ndak apa-apa kalau Mbak ndak mau cerita. Tapi kalau nanti berubah pikiran butuh teman ngobrol, bilang aja ya. Aku juga sering cerita ke mbak, jadi mbak ndak perlu sungkan atau merasa risih. Kita kan sudah berteman sejak awal masuk kampus”. Katanya lagi.
“ Syukran ya, Mbak. Nanti kalau sudah jelas aku akan cerita” Jawabku akhirnya. Muyassarah mengangguk.
Pukul 20.30 kelas baru berakhir. Mata kuliah tafsir ijtima’i yang dipimpin Dr. Azizan selesai tepat waktu. Cepat kubereskan diktat kuliah dan memasukkannya kedalam tas. Lalu segera pergi ke stasiun Pondok Ranji memesan tiket pulang ke Bekasi karena esok hari jam 08.20 jadwal mengajarku di SMA Soedirman.
“Aku duluan ya Ibu-ibu bapak-bapak. Assalamu’alaikum” Kataku pamit sebelum meninggalkan kelas pada teman-teman yang rata-rata sudah berkeluarga dan dewasa usianya. Ada beberapa yang sudah berusia empat puluh tahun bahkan ada yang sudah mempunyai cucu. Sementara yang masih single hanya tujuh orang saja, wanita dua sisanya lelaki. Muyassarah sendiri sudah menikah dan terpaksa berpisah sementara dengan suaminya yang juga seorang mahasiswa S3 di Madinah.
Kereta yang membawaku menuju stasiun Manggarai, dan para pemumpang diharuskan transit untuk menuju tujuan selanjutnya. Sambil menunggu Commuter line datang, Kuperiksa layar handphone. Ada 25 pesan masuk via whatsapp. Dari Muyassarah yang meminta soft copy makalah yang tadi kupresentasikan. Sisanya pesan di grup pascasarjana dan grup guru-guru SMA. Baru saja hendak kumasukkan handphone, sebuah pesan kembali masuk. Dari Faiz. Mahasiswa Syariah yang juga sekampus denganku.
“ Assalamualaikum. Afwan ukhti wifa. Apa pertanyaan saya pekan lalu sudah ada jawabannya?”.
“ Alaikumussalam. Maaf akhi, saya masih istikharah. secepatnya pasti akan saya kabari hasilnya. Syukran”. Jawabku sekenanya. Ya Tuhan, sungguh aku benar-benar bingung.
***
Aku butuh seseorang untuk kumintai pendapat, tapi siapa? Mbak Muyassarah? Ayah atau mamah?. Sepertinya ayah dan mamah tidak perlu tahu dulu, nanti saja diberitahu jika sudah yakin dengan jawabanku. Duh Gusti, aku bingung. Pesan yang dikirim Faiz ini benar-benar membuatku terusik. Aku sendiri masih bingung dengan hatiku. Berat, berat sekali. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dihati, tapi aku tak tahu apa.
“ Kamu kenapa sih? Mamah liat dari tadi gelisah banget. Ada masalah?” Tanya mamah saat sambil meletakkan obat nyamuk bakar dibawah lemari kaca kamarku. Aku hanya termenung sambil melihat kembali rentetan tulisan yang dikirim Faiz via Whatsapp tadi.
“ Cerita aja, siapa tahu mamah bisa kasih solusi.” Lanjut mamah lagi. Aah..aku jadi ragu. Cerita tidak yaa, cerita aja lah.
“ Mah, ifa lagi bingung nih. Ada seorang pemuda, Faiz namanya. Asalnya dari Bogor.” Jawabku, mamah duduk disamping sambil menyibak kasurku dengan sapu lidi.
“ Terus...?” tanya mamah lagi.
“ Tapi jangan bilang-bilang ayah dulu ya. Rahasia, Lho.” Kataku. Mamah mengangguk cepat. Meski aku sangat sangsi, mana mungkin mamah bisa jaga ucapannya. Mamah kan gak pernah bisa bohong kalau didepan ayah. Ah..
“ Iya. Serius. Mamah janji!.” Jawab mamah memastikan. Baiklah..
Sebulan lalu, tak sengaja aku menyenggol handphone seorang pemuda yang sedang berdiri mengantri di ruang akademik fakultas untuk Verifikasi biaya semester ke bagian keuangan kampus.
“ Astaghfirullah, afwan saya gak sengaja” Kataku sambil mengambil handphone yang sudah tergeletak dilantai. Pemuda itupun berusaha mengambil handphonenya yang jatuh, namun sudah keduluan olehku.
“ Iya gak apa-apa, Mbak.” Jawabnya.
“ Aduuh, sekali lagi saya minta maaf, Pak.” Ujarku lagi tak enak hati. Pemuda tersebut memeriksa handphonenya, masih menyala. Aku lega.
“ Iya gak apa-apa, Mbak. Ini masih nyala kok. Gak ada yang rusak. Alhamdulillah, hehe..” Jawabnya lagi. Aku menghela nafas. Alhamdulillah.
“ Mahasiwa pasca juga ya, Mbak?” Tanyanya lagi, Aku mengangguk.
“ Saya Faiz, di Syariah.” Ujarnya lagi mengenalkan diri. Faiz meletakkan handphonenya dalam tas lalu duduk menunggu antrian dikursi akademik. Aku mengikuti. Akademik masih ramai. “ Saya Wifa, IAT” Jawabku. ( IAT singkatan dari Ilmu Al-qur’an dan tafsir).
“ Wah asyik ya di IAT, banyak peminatnya. Syariah sekelas hanya 11 orang. Dikit. Hehe” Faiz berusaha ramah, mencairkan suasana hatiku yang masih merasa bersalah karena sudah menjatuhkan handphonenya. Aku Cuma tersenyum mendengarnya.
“ Maaf mbak, saya pamit duluan ya. Sudah mau masuk kelas. Marii...” Sopan sekali pemuda itu berbicara sambil beranjak pergi keluar. Aku masih melihat tas yang disanggul dipundaknya. Syukran akhi.. batinku.
Setelah insiden handphone jatuh, dunia seakan terasa sempit. Kemanapun aku pergi, pasti berpapasan Faiz. Qodarullah. Aku tidak paham. Pemuda itu sangat ramah dan santun. Jika ingin bicara atau bertanya pada siapapun selalu diawali kata maaf. Ia berkacamata minus. Selalu memakai kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku atau batik formal saat kuliah. Bajunya rapih tersetrika. Dengan tas hitam yang selalu ia sanggul dipundak sebelah kanannya. Perawakannya tinggi dan kulitnya hitam manis dengan sedikit lihyah didagunya. Saat itu aku belum tahu statusnya sudah menikah atau belum. Makanya aku selalu cuek tak begitu memperdulikannya jika kebetulan berpapasan diperpus atau dikantin lalu ia mengajak ngobrol. Lalu kemudian pekan kemarin, ia memberiku amplop cokelat besar berisi biodata dan sebuah foto. Aku tak paham apa maksudnya. Setelah memberikan amplop itu. Ia pamit dan hanya berkata
“ Mbak, dalam amplop ini isinya biodata saya. Kalau ada waktu kosong, saya mohon mbak baca dulu. Lalu pertimbangkan baik-baik. Syukran”.
Aku masih tercengang saat itu. Dan setelah membacanya aku baru paham. Biodata yang ia berikan itu bermakna ajakan untuk ta’aruf. Dalam secarik kertas yang ia tulis..
“ Saya mohon maaf sebelumnya. Kalau sering berpapasan dengan mbak wifa dimanapun mbak berada. Sungguh tak ada niat jahat apapun dalam hati saya. Saya yakin Allahlah yang menggerakkan hati manusia. Termasuk menggerakkan hati saya yang berniat ingin mengenal mbak wifa lebih jauh dengan bertanya pada teman-teman mbak wifa dan melihat keseharian mbak wifa. Oleh karena itu dalam surat ini saya bermaksud ingin mengajak mbak wifa untuk berta’aruf. Jika Allah berkendak. Saya tidak ingin lama-lama. Mohon mbak musyawarahkan dengan orangtua atau siapapun yang mbak yakini bisa membantu mengambil keputusan ini. Kalau mbak setuju, saya dan keluarga akan datang untuk mengkhitbah”.
Aku bergetar membaca rentetan tulisannya yang rapih. Sesaat insiden handphone jatuh terekam sendiri dimemoriku. Ya Rabb.. Aku bingung.
“ Bismillah neng. Kalau mamah mah setuju aja. Apalagi dia seorang guru, Ustad pula. Pastinya Ayah juga setuju. Insya Allah. Tapi... walau bagaimanapun terserah ifalah, kan kamu yang menjalani nantinya. Banyak berdoa dan minta petunjuk dari Allah. Insya Allah... Semoga baik untukmu.” Kata mamah usai aku bercerita.
***
Hari-hari berlalu begitu berat. Dan aku masih belum juga memutuskan apakah menerima pemuda itu atau tidak. Aku masih ragu dan bimbang. Sekarang aku sudah tahu penyebab hadirnya keraguan itu. Aku masih mendambakan Kak Azmi. Rabb...
Setelah hampir emapat tahun, ia bahkan tak pernah menegurku, untuk membalas komentar-komentarku di status medsosnya saja tidak. Sangat cuek, seakan tak peduli. Dan bodohnya aku masih memikirkannya. Allah.. Ampuni aku.
“ Kamu bodoh, Mbak!” cecar mbak Muyassarah. Saat kceritakan masalahku.
“ Untuk apa memikirkan orang yang bahkan ndak pernah mikirin kita”. Lanjutnya lagi.
“ Sudahlah mbak, terima saja Akh Faiz, Aku yakin ia bisa menjadi imam yang baik. Ia memang bukan cinta pertamamu. Tapi aku yakin ia lebih baik dari Azmi itu!”
“ Aku masih istikharah, Mbak.” Jawabku lirih.
Pukul 09.45. Aku sudah berada dikampus. Kuputuskan untuk mampir sebentar ke masjid Fathullah untuk sekedar merenggangkan otot setelah beberapa jam berdiri di Commuter line Bekasi- Manggarai, lalu lanjut stasiun tanah abang dan berakhir distasiun pondok ranji. Aah.. terasa pegal sekali kaki ini. Setelah wudhu, aku masuk kedalam masjid. Ada beberapa mahasiswi yang sedang berdiskusi atau tiduran didalam masjid. Kelas akan dimulai ba’da zhuhur nanti dengan mata kuliah Tafsir tematik oleh Ustadzah Nida. Kubuka kembali amplop cokelat pemberian Faiz, sekali lagi kucermati rangkaian biodata pemuda berumur 28 tahun itu. Sangat apik. Dalam tulisannya ia menulis bahwa ia diamanahi sebagai khadimul ma’had dipondok pesantren, Bogor. Dan kemungkinan akan mengabdikan dirinya dipesantren mengurus para santri. Dan ia sangat berharap siapapun yang menjadi istrinya nanti, bisa mengabdi bersama berjuang memajukkan pesantren. Sesaat aku jadi terpikir Kak Azmi, pemuda itu juga pernah diamanahi kyai untuk mengurus para santri, membantu mengajar dan sesekali menggantikan kyai mengisi ta’lim saat berhalangan. Hanya berjalan satu tahun, lalu kemudian ia terbang menuju bumi kinanah untuk melanjutkan studi disana.
“ Aku harus bagaimana, Mbak?” Tanyaku pada muyassarah saat jam makan siang. Gadis itu menatap mataku sesaat, kemudian melanjutkan makan siomaynya.
“Kamu masih suka Azmi?” tanyanya. Aku diam.
“Kamu masih suka dia. Saranku mbak tanya sekali lagi Azmi. Apakah ia mencintai mbak ndak? Katakan juga bahwa ada sesorang yang ingin mengkhitbah mbak. Katakan sejujurnya!” Lanjutnya lagi
“ Tapi aku malu. Bagaimana nanti kalau dia gak jawab?. Dia bahkan gak pernah sama sekali menyapa selama ini. Komentarku gak pernah dibales. Aku takut.” Jawabku bimbang.
“ Justru itu mba, kalau dia ndak jawab, berarti dia bukan jodoh mbak. Dan mbak bisa terima Faiz. Kasian pemuda itu pasti harap-harap cemas menunggu jawaban darimu, Mbak. Coba dulu, tanyakan bagaimana perasaan azmi ke mbak. Bismillah.” Muyassarah menyemangatiku.
Malam
itu.
“ Assalamua’alaikum. Kak, apa kabar? Semoga kakak baik-baik saja dibumi kinanah
sana.
Ini kesekian kali aku menyapa kakak setelah yang pertama saat 4 tahun
lalu. Maafku tiada
tara jika pesan ini mengusik belajar kakak. Sungguh aku tak
bermaksud.
Kak, to the point ya.
Aku ingin bercerita. Pekan lalu ada seorang pemuda yang
berniat ingin mengkhitbahku.
Belum aku jawab. Karena aku mesih mendamba kakak.
Mungkin ini pertanyaan terakhirku
buat kakak. Semoga kakak bersudi membalasnya.
Jawaban kakak penentu taqdir cintaku.
Aku masih mencintai kakak setelah 4 tahun
berlalu, Apa kakak mencintaiku?.
Maaf dan terima kasih.
Maaf dan terima kasih.
Ya Rabb.. naif sekali hamba ini.
Disatu sisi aku masih mencintai Azmi, tapi aku tak tahu apa ia mencintaiku juga atau tidak. Dan disisi lain, ada seseorang yang sungguh-sungguh mencintaiku, ingin malamarku, namun aku ragu apa aku bisa mencintainya. Allah..
Pesan sudah kukirim pada Azmi, semoga ia sudi membalasnya.
“ Wa’alaikumussalam, Wifa. Alhamdulillah saya baik disini. Udara Cairo saat ini diatas 40 derajat celcius, lagi panas-panasnya. Semoga kami para mahasiswa kuat menjalani hari-hari perjuangan ini.
Maaf untuk kesan yang tidak enak yang saya berikan pada wifa selama ini. Sunggguh saya sangat bahagia dicintai oleh wanita seperti wifa. Namun apalah daya.. saya ini Qais abad millenium yang selalu tak sanggup menahan deru cintanya. Tapi derajat cinta saya tak setinngi majnun pada laila. Saya mencintai Wifa. Tapi saya juga mencintai ilmu yang sedang saya cari ini. Saya tidak ingin rasa cinta saya pada wifa mengalahi cinta saya pada ilmu. Wifa tahu kan? Ibarat tangan ia tak akan mampu bertepuk jika hanya sebelah, begitu juga dengan ilmu. Ilmu tidak akan memberikan kita seluruhnya, jika dalam hati ini masih ada cinta yang lain. Karena itulah saya ingin fakus pada kuliah saya dulu, sambil berharap wifa mau sedikit lagi bersabar menunggu saya sampai selesai. Saya akui saya sungguh naif, berpura-pura cuek, tak peduli, padahal hati saya rapuh.
Maafkan kakak.
Wassalam.
“ Alhamdulillah, sudah bangun.” Ujar seseorang. Suara yang khas. Ka Azmikah?
Aku buka mata ini perlahan, ruangan bercat putih dengan aroma obat-obatan. Dimana aku?.
“ Alhamdulillah sudah sadar. Kamu tadi pingsan dilobi. Mbak kok gak bilang kalau lagi sakit?” lanjutnya lagi, ternyata muyassarah.
“ Aaa..ku? Ping...san?” Tanyaku memastikan. Muyassarah mengangguk.
“ Iya, mbak tipes. Hasil lab darah mbak sudah keluar. Untung ada Faiz tadi yang menolong membawa kesini. Aku sudah telpon adik mbak, ternyata dia mahasiswa UIN juga tho. Aku baru tahu. Dia sedang pamit keluar sebentar. Sementara mbak disini satu atau dua hari sampai benar-benar pulih. Ndak usah balik dulu ke bekasi”. Ujar Muyassarah lagi. Aku beranjak meraih tasku yang tergeletak diatas kursi.
“ Mau kemana?” Tanya wanita itu.
“ Handphoneku, aku mau ngabarin mamah.” Kataku, padahal bukan itu. Aku ingin mengecek membaca ulang jawaban yang dikirim ka Azmi atas pertanyaanku.
Berkali-kali kucermati inbox dilayar handphoneku. Kosong. Tak ada pesan dariku apalagi jawaban dari Ka azmi. Kemana pesan yang kutulis itu? Apa ada yang menghapus?. Tapi gak mungkin.
“Mbak..” kataku memanggil muyassarah yang sedang chatting dengan suaminya.
“ Iya, mbak. Kok pesan yang kukirim buat ka azmi gak ada ya?’’ tanyaku heran.
“ Pesan? Pesan apa? Mbak kan dari jam setengah empat sore pingsan dan baru siuman malam ini. Mana sempat menulis pesan?” Muyassarah mengernyitkan dahinya.
“ Mungkin mbak mimpi” lanjutnya lagi
“ Mimpi? Tapi seperti nyata aku menulis pesan untuk ka azmi dan ia membalas pesanku, mbak.” Belaku
“ Mbak, aku tahu mbak sedang bimbang. Aku memang menyuruh mbak untuk bertanya pada azmi bagaimana perasaannya. Tapi dari tadi kita bersama, mbak tidak menulis pesan apapun, bahkan menyentuh handphone juga tidak. Mbak, sudahlah.. lupakan ia. Azmi hanya masa lalu. Lelaki yang tak pasti. Mbak, lelaki serius yang mencintai kita, ia tak akan membuat kita berlama-lama menunggu, menanti kepastian darinya. Lupakan azmi dan terima faiz. Saat mbak pingsan tadi, ia satu-satunya yang aku perhatikan paling khawatir. Kampus sudah sepi, mahasiswa s1 sudah pulang. Hanya ada beberapa orang yang masih stay dikampus. Teman-teman sekalas juga sedang keluar istirahat di cafe. Untung saja ada Faiz. Ia yang menolongku, membantu membawa mba yang pingsan dilobi ke rumah sakit. Lalu ia juga yang bolak-balik ke lab memeriksa hasil chek up darah. Bahkan ia juga yang memberikan jaminan agar mbak cepat ditangani dokter. Ia sangat khawatir tadi. Apa tidak cukup hal ini mbak jadikan pertimbangan untuk menerimanya” Muyassarah terus mencecariku dengan pembelaannya terhadap Faiz. Ya Rabb...
“Maafkan aku..” ujarku lirih. Apa yang dikatakan muyassarah memang benar. Untuk apa aku terus menunggu seseorang yang tak pasti. Sementara didepanku ada seseorang yang bahkan rela berkorban untukku. Tuhan.. beri aku petunjuk.
“ Sekarang dimana faiz, mbak?. Aku mau bilang terima kasih.” Kataku.
“ Ia sudah pamit dari jam 5 tadi, ada urusan di pesantren” jawab muyassarah.
“ Malam ini aku akan tidur disini menemani, mbak. Besok pagi aku balik ke asrama.” Lanjutnya lagi.
“ Syukran, ukhti” kataku.
***
Kira-kira bagaimana yah kelanjutan kisah fiksi ini.
Apakah wifa El- Khairah akan menjatuhkan pilihannya pada Faiz? Atau masih mendamba pada cinta lamanya Kak Azmi? Nantikan kelanjutannya di Episode 3.
Bersambung.
Kira-kira bagaimana yah kelanjutan kisah fiksi ini.
Apakah wifa El- Khairah akan menjatuhkan pilihannya pada Faiz? Atau masih mendamba pada cinta lamanya Kak Azmi? Nantikan kelanjutannya di Episode 3.
Bersambung.
Komentar
Posting Komentar