Menjadi Murid Shodiq atau Murid Kadzib?
Virus Covid -19 belum memiliki tanda akan berakhir. Kegiatan PTM yang sudah berlangsung hitungan hari, mau tidak mau harus dihentikan sementara, melihat kembali maraknya varian baru covid-19 yang dikenal dengan omicron. Akhirnya e-learning menjadi lebih relevan digunakan saat ini daripada kelas fisik ( talaqqi). Dengan demikian, kondisi tersebut membuat hilangnya kontak hubungan antara siswa dan guru.
Selama kegiatan PJJ dilaksanakan, tentu membawa pengaruh bagi pembentukan sikap seorang siswa. Etiket pembelajaran menjadi sulit untuk diwujudkan. Sebab, prilaku siswa saat PJJ tidak lagi dapat dipantau dan dikendalikan sepenuhnya oleh guru. Saat PJJ berlangsung, seorang murid tidak mustahil melakukan percakapan dengan orang lain, meskipun itu bukanlah hal yang mendesak. Ini merupakan salah satu tanda adanya akhlak atau adab yang dilanggar oleh seorang murid. Padahal, di masa sekarang adab atau etika dalam menuntut ilmu sangat dibutuhkan untuk menjaga kesucian ilmu dan warosahnya.
Mengenai adab dalam menuntut ilmu, para ulama telah membahasnya panjang lebar dalam kitab-kitab yang dikarangnya. Mari kita bercermin dengan akhlak dan sikap yang ada pada diri Imam As-Syafi’ie misalnya, beliau adalah salah seorang ulama yang keluasan ilmunya menjadi pilar dalam pemikiran hukum islam. Ulama terkemuka yang ahli di bidang fikih, bahkan beliau termasuk salah satu ulama yang merumuskan asas-asas hukum fikih. Terlepas dari kontribusinya dalam ilmu pengetahun. Imam syafi’ie tetaplah seorang murid yang tawadhu sekali terhadap gurunya. Keluhuran budi pekerti inilah yang mengantarkan beliau menuju gerbang kesuksesan, disamping kejuhudannya dalam menuntut ilmu.
Ta’zhim atau hormat kepada guru adalah hal yang wajib dilakukan bagi seorang siswa, meskipun pemikiran atau argumennya tidak sependapat. Hormat kepada guru harus senantiasa diamalkan baik di hadapannya ataupun di belakangnya. Imam Ibn hasan As-Syaibani pernah memuji kemuliaan budi pekerti imam As-Syafi’ie, beliau adalah santri yang kalem dan sangat dalam ilmu pengetahuannya. Saat menjumpai hal yang belum dipahami, beliau Imam As-Sayi’ie akan bertanya dengan hormat dan mendengarkan dengan cermat ketika mengahadapi pendapat yang bersebrangan. Beliau murid yang sabar terhadap gurunya, tidak pernah berpaling saat gurunya mengajar. Bahkan, demi mengejar ilmu pengatahuan dari gurunya, beliau rela tetap tinggal di Madinah, berada dekat di sisi gurunya, kecuali saat beliau ingin mengunjungi ibunya di Gaza.
Imam As-Syafie begitu berempati kepada gurunya. Saking mulia sikap beliau, untuk mengebet kitab ( membolak balikan kitab), beliau melakukannya sangat hati-hati agar suara yang ditimbulkan dari gesekan kertas yang dikebet tidak mengganggu gurunya. Ketika beliau tidak memiliki barang berharga atau hadiah istimewa yang lazimnya para siswa berikan sebagai bentuk rasa terima kasih, tanda penghargaan kepada guru, untuk gantinya beliau imam As-Syafi’ie menawarkan jasa memomong anak- anak gurunya ketika gurunya sedang pergi dengan harapan bisa meringankan beban gurunya.
Mari kita belajar dari sikap dan akhlak yang dicontohkan imam As-Syafi’ie. Walaupun beliau dikenal dengan ulama yang memiliki ingatan yang tinggi, di usianya yang ke 7 tahun berhasil menghafal Al-Qur’an, lalu 10 tahun mampu menghafal kitab Al-Muwattha karangan Imam Malik, gurunya. Imam as-Syafiie tetap memastikan bahwa tak ada satupun ilmu pengetahuan yang terlewat ditulisnya yang dia pelari dari gurunya. Ini merupakan bukti, betapa beliau memiliki kerendahan hati di hadapan guru-gurunya. Beliau mengatakan dalam diwannya “ Ilmu adalah buruan dan tulisanlah tali pengikatnya, ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat”.
Guru juga manusia, kita tidak pernah mengetahui seperti apa perjuangan mereka. Karena itu, hendaknya kita selalu bersikap baik dan menunjukkan sikap empati. Dalam keadaan dimana pembelajaran dilaksanakan secara daring, mari kita coba yang terbaik untuk memahami pikiran dan perasaan guru kita. Menghormati guru tak kenal waktu dan ruang, baik di sekolah, di masjid, di jalan, di rumah, di taman atau di manapun itu. Memuliakan guru adalah kewajiban setiap murid. Akhlak kepada guru bukanlah formalitas belaka, ia harus lahir dan tumbuh dari hati nurani, jangan sampai zahirnya terlihat hormat, namun batinnya melaknat. Hormat kepada guru harus dengan hati yang bersih, niat yang tulus agar berbuah rahmat kebaikan dari Allah di kemudian hari.
Malulah kiranya kita di cap sebagai murid kadzib bukan murid shadiq. Guru kami, Buya Arrazy Hasyim pernah berkata bahwa murid shaqid, adalah murid yang apabila di depan guru atau di belakang guru adabnya tetap sama, baik saat gurunya dekat atau saat gurunya jauh ia tetap berprilaku hormat, bahkan saat gurunya hidup atau telah wafat adabnya tetaplah sama. Murid shadiq lahir-batinnya sama, beradab kepada gurunya, baik saat hadir atau tidak hadir. Itulah murid shadiq. Kebalikannya murid shadiq adalah murid kadzib, malah kalau perlu mengadu domba gurunya, membicarakan aib gurunya di hadapan teman-temannya, bahkan ia menyumpahi gurunya. Hati-hati, inilah salah satu penyebab dicabutnya keberkahan ilmu dari diri kita, bahkan iman kita. Na’udzubillahi Min Dzaalik.
Komentar
Posting Komentar