Makalah sejarah dan perkembangan ilmu tafsir
KATA
PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah, kami ucapkan kepada Allah karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Studi
Qur'an.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kebodohan kepada zaman yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan.
Semoga makalah ini bisa memberikan
pengetahuan kepada pembaca terutama kepada penulis sendiri, namun demikian penulis juga menyadari jika
ada kesalahan atau pun kekurangan dari tugas ini penulis mohon maaf dan mohon
bantuan kritik dan sarannya.
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
........................................................... 1
DAFTAR ISI......................................................................... 2
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
B.
Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. 6
C.
Tujuan Penulis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . . . 6
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian ilmu
tafsir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
B.
Sejarah Perkembangan ilmu tafsir . . . . . . . . . . . . . . 9
C.
Sejarah perkembangan ilmu tafsir dari masa ke
masa 11
D.
Perkembangan metode tafsir . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . 30
E.
Pembagian metode tafsir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
BAB III :
PENUTUP
A.
Kesimpulan . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 44
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . .
. . . . . . . . . . . . . . . .
48
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi
sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab
suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia
berfungsi untuk memberikan kesejahteraan
dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.[1]
Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi
yang membacanya. Al-Qur’an
bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah
reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat
dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat serta dampak
luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan
mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan
inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang
mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio,
ekonomis, religious, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia
sampai abad ke VII masehi.
Di
masa Rasulullah Saw. al-qur’an langsung beliau tafsirkan jika ada hal-hal yang
tidak dipahami oleh sahabat dangan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan
kepada Rasulullah saw. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sahabat
maka akan dijawab oleh Rasulullah berdasarkan wahyu dari Allah Swt. karena
Rasulullah tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan dengan wahyu. Hal
ini seperti yang di firmankan oleh Allah dalam an-Najm:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ( ) إِنْ هُوَ إِلاَّ
وَحْيٌ يُوْحىَ ( )
Sebagai contoh adalah surah al-An’am ayat 82:
اَلَّذِيْنَ آمَنُوْا
وَلَمْ يَلْبِسُوْا إيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ...
Kataبظلم membuat sahabat
bertanya siapa yang dimaksud dengan بظلم pada ayat ini,
karena kekhawatiran mereka termasuk dalam golongan itu. Hal ini dijawab oleh
rasulullah dengan surah Luqman ayat 13:
...إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ...
Jadi yang
dimaksud dengan بظلم pada ayat 82
dari surah al-An’am adalah الشرك berdasarkan
ayat 13 surah Luqman
Jika demikian itu halnya, maka
pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki
peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk
membuka gudang simpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.[2]
Dan
untuk bisa memahami ajaran-ajaran Al Qur’an, tidaklah cukup dengan kita membaca
teksnya tanpa mengetahui penafsirannya. Karena dengan mengetahui penafsiran,
kita akan lebih mengetahui maksud yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut.
Oleh kerena itu, dapat kita sebut bahwa mengetahui tafsir adalah anak kunci
perbendaharaan isi Al Qur’an yang diturunkan untuk menjelaskan tuntunan dan
memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan
menyejahterakan alam ini.
Kenyataan
sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban dan budaya manusia. Hal ini dikarenakan adanya
permasalahan-permasalahan yang terus berkembang, yang pada masa Nabi belum
pernah ada. Jadi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa keluar dari
aturan al-Qur’an, para ulama’ akhirnya membuat penafsiran al-Qur’an yang
nantinya bisa dijadikan hujjah untuk menyelesaikan problem masyarakat.
Maka dari itu, mau tidak mau, tafsir harus mengalami perkembangan dan bahkan
perubahan pada setiap perkembangan zaman, guna memenuhi kebutuhan manusia dalam
suatu generasi.
Menelusuri sejarah penafsiran
al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia
Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya secara
panjang lebar dan detail, terutama di zaman yang serba cepat dan instan ini.
Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur
yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri yang
lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir)
baik sejarah tafsir zaman Rasulullah, mutaqaddimin. Mutaakhkhirin dan
kontemporer.
Adapun penafsiran
Al Qur’an, secara garis besar dapat dibagi dalam 4(empat) macam metode,[3] dengan sudut pandang tertentu : [4]
ü Metode Penafsiran ditinjau dari sumber
penafsirannya, metode ini terbagi menjadi tiga macam, yakni metode bi
al-ma’thur, bi al-riwayah, bi al-manqul, tafsir bi-ra’y/bi
al-dirayah/ bi al ma’qul dan tafsir bi al-izdiwaj (campuran).
ü Metode penafsiran ditinjau dari cara
penjelasannya. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode deskriptif (al-bayani)
dan Metode tafsir perbandingan (comparatif, al maqarin).
ü Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan
penjelasan. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode global (al-ijmali)
dan metode detail (al-ithnaby).
ü Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran
dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode penafsiran ini terbagi
menjadi dua macam, yakni metode analisis (al-tahlily) dan metode tematik
(al-mawhu’y).
Corak
penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest,
motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity]
dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan
situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak
penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode
yang berbeda-beda.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
a.
Apa Pengertian ilmu tafsir?
b.
Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu tafsir?
c.
Bagaimana tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw, mutaqoddimin,
mutaakhkhirin dan kontemporer?
mutaakhkhirin dan kontemporer?
d.
Bagaimana perkembangan metode penafsiran Al-Quran?
e.
Apa sajakah pembagian metode
tafsir?
C.
Tujuan Penulis
Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini, yaitu:
a.
Untuk mengetahui pengertian ilmu tafsir dan sejarah
perkembangannya
perkembangannya
b. Untuk
mengetahui sejarah tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw, mutaqoddimin, mutaakhkhirin dan kontemporer
c.
Untuk mengetahui perkembangan metode penafsiran Al-Quran dan
pembagiannya
pembagiannya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu Tafsir
Tafsir ((تفسر
secara
bahasa merupakan bentuk Mashdar dari kata فسر – يفسر – تفسيرا Yang berarti الايضاح (
Menjelaskan), التبين(Menerangkan),
danالاظهار (Menampakan). Tafsir mengikuti wazan Taf’il
dapat juga berarti الكشف و البيان (Menjelaskan
dan Menguraikan).[5][2]
Sedangkan menurut istilah para ulama
mendefenisikan tafsir menurut pandangannya masing-masing. Diantaranya adalah:
1. Al-Zarqani
عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ من
حيث دلالته على مراد الله تعلى بقدر الطاقة البشرية[6][3]
Ilmu yang
membahas al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki
oleh Allah sebatas kemampuan manusia.
2. Al-Zarkasyi
علم يعرف به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى
الله عليه وسلم وببان معانيه واستخراج احكامه وحكمه[7][4]
Ilmu untuk memahami
kitabullah yang diturunkan kepada nabi Saw. Menjelaskan maknanya,
hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
3. Khalid bin Utsman al-Tsabt
Ilmu yang
membahas tentang keadaan al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang
dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia.
Dari
pengertian-pengertian tafsir tersebut dapat kita pahami bahwa tafsir itu adalah
upaya seorang mufassir untuk menjelaskan al-quran untuk mengetahiu
makna-maknanya, hukum-hukumnya, dan hikmah-hikmah yang terkandung didalam
al-quran.
B.
Sejarah dan Perkembangan
tafsir Al-Quran
Sebagai pembawa
risalah, Nabi Muhammad Saw. memiliki otoritas penuh terhadap penafsiran
al-Qur’an. Keberadaannya sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, dan menjadi referensi sentral dalam berbagai permasalahan yang
dihadapi masyarakat pada zaman tersebut. Apabila sahabat mendapatkan suatu
kesulitan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an maka mereka bisa langsung
menanyakannya kepada Rasulullah Saw, lalu beliau menjelaskan apa yang masih
samar pengertiannya bagi para sahabat, sehingga tidak ada lagi keraguan dan
kerancuan di benak para sahabat.
Penafsiran al-Qur’an yang terjadi
sejak zaman Nabi Muhammad Saw. (571-632 M) dan masih tetap berlangsung hingga
sekarang bahkan di masa-masa mendatang, sungguh telah menghabiskan waktu yang
sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan
perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an khususnya tafsir. Menelusuri sejarah
penafsiran al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap penjuru
dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya
secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba cepat dan instan
ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke
berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran
itu sendiri yang lazim di kenal dengan sebutan thabaqat al-mufassirin
(penjenjangan para mufassir).[9]
Sebagian ahli tafsir, secara global
membagi periodesasi penafsiran al-Qur’an kedalam tiga fase, yaitu periode
mutaqaddimin (abad ke-1-4 H), periode mutaakhkhirin (abad 4-12 H), dan periode
baru (abad ke-12-sekarang). Adapula yang memilahnya kedalam beberapa fase yang
lebih banyak semisal Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1300-1371 H/1883-1925 M) yang
membedakan thabaqat al-mufassiriin kedalam tujuh tahapan, yakni: (1) tafsir
masa sahabat, (2) tafsir masa thabiin, (3) tafsir masa penghimpunan pendapat
para sahabat dan thabiin, (4) tafsir masa generasi ibnu Jarir dan kawan-kawan
yang memulai menuliskan penafsirannya, (5) tafsir masa generasi mufassir yang
sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan rangkaian (sanad) periwayatan, (6)
tafsir masa kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam, yang oleh al-Maraghi di
sebut dengan ‘ashr al-ma’rifah al-islamiyah, (7) tafsir pada masa penulisan,
transliterasi (penyalinan) dan penerjemahan al-Qur’an kedalam berbagai bahasa asing
(non Arab).
Berbeda dari
al-Maraghi, Muhammad Husayn al-Dzahabi memilih sejarah tafsir ketiga marhalah,
yaitu: periode Nabi dan Sahabat, thabiin, dan pembukuan tafsir. Namun dalam
makalah ini penulis akan memilih fase-fase perkembangan al-Qur’an kedalam empat
periode besar, yakni periode Nabi Saw, periode mutaqaddimin. Periode
mutaakhkhirin, dan kontemporer (modren).
C.
Sejarah perkembangan tafsir dari masa ke masa
A.
Tafsir Pada Masa Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. ( Dari
tahun kenabian hingga 11 H/610 M)
Bisa dikatakan
bahwa tafsir pertama kali ada mulai sejak ayat-ayat al-Qur’an itu mulai di
turunkan. Dalam praktiknya, ketika Rasulullah menerima wahyu berupa ayat
al-Qur’an, kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada sahabat dan
menjelaskannya berdasarkan apa yang beliau terima dari Allah Subḥānahu wa
Ta’ālā.[10]
Sebagai mana riwayat dari Siti ‘Aisyah Raḍiyallahu ‘Anha yang
mengatakan bahwa Rasulullah tidak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an kecuali
beberapa ayat yang telah diajarkan oleh Jibril Alayhi al-Salam.
Menurut Al-Suyuṭi,
pada masanya, Nabi merupakan penafsir tunggal dari al-Qur’an yang memiliki
otoritas spiritual, intelektual, dan sosial.[11]
Akan tetapi kebutuhan terhadap penafsiran pada masa itu tidak sebesar pada
masa-masa berikutnya.
Dalam
penyampaiannya, tidak semua ayat dalam Al Qur’an dijelaskan oleh Nabi Ṣallallah
Alayhi wa Sallam. Beliau hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan
maksudnya tidak diketahui oleh para sahabat, karena memang hanya beliau yang
dianugerahi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tentang tafsiran al-Qur’an.
Begitupun dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal gaib, yang tidak
ada seorang pun tahu kecuali Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, seperti
terjadinya hari kiamat, dan hakikat ruh, semua itu tidak dijelaskan dan
ditafsiri oleh Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam.[12]
Selain itu,
dalam menafsirkan al-Qur’an, Nabi juga menggunakan bahasa yang tidak panjang
lebar, beliau hanya menjelaskan hal-hal yang masih samar dan global, memerinci
sesuatu yang masih umum, dan menjelaskan lafadz dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
Ø
Bentuk-bentuk tafsir yang dilakukan Nabi
Dalam menafsirkan al-Qur’an, Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa
Sallam juga memiliki bentuk-bentuk tersendiri. Bentuk-bentuk penafsiran
yang dilakukan oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam diantaranya
adalah menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, hal ini
sesuai dengan riwayat yang disampaikan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari
Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa tatkala turun ayat;
الَّذِينَ
آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ[13]
Orang-orang yang beriman
dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman, mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Banyak para
sahabat yang merasa resah karena mereka menganggap tidak akan bisa manusia
hidup tanpa pernah melakukan keḍaliman. Melihat hal tersebut, Rasulullah
menjelaskan bahwa hakikat makna lafaẓ ظلم di ayat tersebut adalah
sebagaimana lafaẓ ظلم pada ayat :[14]
لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ[15]
Janganlah kalian menyekutukan Allah,
sesungguhnya menyekutukan Allah adalah keḍaliman yang besar.
Penafsiran
dengan bentuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an merupakan cara
yang tepat dan paling baik. Ibnu Taimiyah berkata bahwa, apabila seseorang
bertanya tentang cara penafsiran yang baik, maka jawabannya adalah menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri.[16]
Selain
menggunakan ayat Al-Qur’an yang lain untuk menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an,
Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam juga menggunakan hadis dalam
menafsirkan suatu ayat. Misalnya dalam menafsirkan ayat;
هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَة[17]
Dia (Allah) adalah Tuhan
Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.
Rasulullah menggunakan hadis qudsi
yang diriwayatkan oleh sahabat Anas Raḍiyallahu ‘Anhu, bahwa Allah Subḥānahu
wa Ta’āla telah berfirman;
انا اهل ان اتقي
فمن اتقانى فلم يجعل معى الها فانا اهل ان اغفرله[18]
“Aku (Allah) adalah Dhat
yang patut disembah. Barang siapa yang bertakwa dan tidak menjadikan sekutu
bagi-Ku, maka Aku akan mengampuninya.”
Bentuk dan
karakteristik penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi
wa Sallam tersebut sekarang kita kenal dengan nama tafsir bi al-Ma’thur yang
kehujjahannya tidak perlu dipertanyakan lagi.
B.
Tafsir pada masa mutaqoddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)
Periode mutaqaddimin ( Abad ke – 1 hingga abad ke - 4 Hijrah ) meliputi masa sahabat, tabi’in
dan tabi’ al – tabi’in. Tafsir pada masa ini mulai muncul setelah
Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam wafat. Sebelumnya pada waktu
Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam masih hidup, tak ada seorangpun dari
sahabat yang berani menafsirkan Al Qur’an, hal ini karena Nabi masih berada di
tengah-tengah mereka, sehingga ketika ditemukan suatu permasalahan, para
sahabat cukup menayakannya kepada Nabi dan permasalahan tersebut akan selesai.
Abdullah ibn Abbas yang wafat pada tahun 68 H, adalah tokoh yang
biasa dikenal senagai orang pertama dari sahabat nabi yang menafsirkan
al-Qur’an setelah nabi Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Ia dikenal
dengan julukan “Bahrul Ulūm” (Lautan Ilmu), Habrul Ummah (Ulama’
Umat), dan Turjamanul Qur’an (Penerjemah Al-Qur’an) sebagaimana telah
diriwayatkan di atas, bahwa nabi pernah berdo’a kepada Allah agar Ibnu Abbas
diberi ilmu pengetahuan tentang ta’wil al-Qur’an (lafadz-lafadz yang bersifat
ta’wil dalam al-Qur’an).[19]
Ø
Bentuk dan karakteristik tafsir Sahabat
Sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung pada penekanan arti
lafadz yang sesuai serta menambahkan qawl (perkataan atau pendapat)
supaya ayat al-Qur’an mudah dipahami.
Sifat tafsir pada masa-masa pertama ialah sekedar menerangkan makna
dari segi bahasa dengan keterangan-keteranagan ringkas dan belum lagi dilakukan
istimbaṭ hukum-hukum fiqih.[20]
Seperti halnya Ibnu Abbas, dalam menafsirkan al-Qur’an ia
mempergunakan Syawāhidu as- Syair Arabi (Syair-syair kuno) guna untuk
membuktikan kebenaran al-Qur’an. Selain itu pula ia juga bertanya kepada
golongan ahli kitab yang telah masuk Islam, seperti Ka’ab al-Akhbar dan
Abdullah ibn Salam. Menurut ibnu Abbas, “Apabila terdapat dalam al-Qur’an
sesuatu yang sulit dimengerti maknanya, maka hendaklah kamu melakukan
penelitian (melihat) pada syair-syair, karena syair-syair itu adalah sastra
Arab kuno. Dan di dalam al-Qur’an telah ditetapkan adanya sebagian
kalimat-kalimat mu’arabah (kata-kata asing yang diarabkan).[21]
Firman Allah yang berbunyi :
وَفَاكِهَةً
وَأَبًّا[22]
dan
buah-buahan serta rerumputan.
Abu ‘Ubaidah
memuatkan dalam buku al-Faḍāil dari Anas, bahwa Umar bin Khattab pernah
membaca ayat tersebut di atas mimbar. Dari ayat itu kemudian Umar mengatakan “
Kalau Fāqihah sudah umum kita ketahuai, tapi apakah ‘Abba itu?,
sesudah itu dia melihat dirinya sendiri. Lalu Abu ‘Ubaidah mengatakan : إن هذا لهو التكلف يا عمر . (ini sesuatu yang diberat-beratkan wahai
umar.)[23]
Juga firman
Allah yang berbunyi :
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى[24]
Peliharalah
semua shalat dan shalat wushtha
Siti Aisyah menyandarkan ayat tersebut dengan menambahkan
penafsirannya yaitu : “shalat Ashar”.[25]
Dalam berpendapat tentang tafsir dari suatu ayat, para sahabat juga
tidak menggunakan kehendak nafsunya sendiri atau dengan pemikiran tercela,
melainkan menggunakan pemikiran yang terpuji.
Tafsir dengan pikiran yang tercela ialah apabila mufassir
dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan mengistimbaṭkan hukum hanya
dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at.[26]
Sedangkan tafsir yang menggunakan pikiran yang terpuji ialah
apabila mufassir dalam menafsirkan ayat tidak bertentangan dengan tafsir
ma’thūr. Selain itu penafsirannya harus berbentuk ijtihad muqayyad
atau yang dikaitkan dengan satu kaitan berpikir mengenai kitab Allah menurut
hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Maka dari itu, ulama’ mensyaratkan agar mufassir mempunyai
ilmu yang memadai tentang ilmu fiqih, ilmu al-Qur’an; ilmu Islam dan ilmu
sosial. Ditambah dengan sifat wara’ atau mawas diri dan takut kepada
Allah serta mempunyai daya nalar akal yang tinggi.[27]
Ø
Metode Sahabat dalam menafsirkan ayat al-Qur’an
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, para shahabat juga memiliki
metode dan materi tafsir tersendiri. Adapun metode dan materi tafsir menurut
mereka adalah :[28]
1. Menafsirkan
al-Qur’an dengan al-Qur’an. Inilah yang paling baik.
2. Mengambil dari
tafsir Nabi yang dihafal sahabat beliau.
3. Menafsirkan
dari apa yang mereka sanggupi dari ayat-ayat yang bergantung pada kekuatan
pemahaman mereka, keluasan daya mendapatkannya, kedalaman mereka mengenai
bahasa al-Qur’an dan rahasianya, keadaan manusia pada waktu itu, dan adat
istiadat mereka di tanah arab.
4. Mengambil
masukan dari apa yang mereka dengar dari tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah
masuk Islam dan baik Islam mereka.
Ø
Tokoh-tokoh tafsir pada masa sahabat
As-Suyuthy dalam al-Itqan mengatakan bahwa sahabat yang
terkemuka dalam bidang ilmu tafsir ada sepuluh orang, yaitu:[29]
1. Abu Bakar
ash-Shiddiq
2. Umar al-Faruq
3. Utsman Dzun
Nurain
4. Ali bin Abi
Thalib
5. Abdullah ibn
Mas’ud
6. Abdullah ibn
Abbas
7. Ubay ibn Ka’ab
8. Zaid ibn Tsabit
9. Abu Musa
al-Asy’ary, dan
10. Abdullah ibn
zubair
Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan khulafa’
ialah Ali ibn Abi Thalib. Sedangkan yang paling banyak diterima tafsirnya dari
kalangan bukan khulafa’ adalah Ibnu abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay
ibn ka’ab.
Keempat mufassir Ṣahabi ini mempunyai ilmu dan pengetahuan
yang luas dalam bahasa Arab. Mereka selalu menemani RasulullahSalla Allah
‘Alayhi wa Sallam yang memungkinkan mereka mengetahui kejadian dan
peristiwa-peristiwa nuzul al-qur’an dan tidak pula merasa ragu menafsirkan
al-Qur’an dengan ijtihad.
Ibnu Abbas banyak pengetahuannya dalam hal tafsir, karena dapat
bergaul lama dengan sahabat-sahabt besar, walaupun beliau tidak lama dapat
bergaul dengan Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam.
Demikian pula sahabat Ali, beliau hidup lebih lama daripada khalifah-khalifah
lainnya, saat umat Islam membutuhkan sekali kepada para ahli yang dapat
menafsirkan al-qur’an.
Demukian pula banyak diterima riwayat dari Ibnu Mas’ud. Dan
demikian pula banyak diterima riwayat dari Ubay ibn Ka’ab al-Anshary salah
seorang penulis wahyu.[30]
Tafsir Masa Tabi’in
Ketika penaklukan Islam semakin
luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka
membawa ilmu masing-masing. Dari tangan mereka inilah tabi’in, murid mereka
itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai madzhab
dan perguruan tafsir[31].
1. Pembukuan Pertama Kali
Meluasnya wilayah
kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat non-Arab yang masuk Islam menyebabkan
kebutuhan akan tafsir menungkat. Di sisi lain, generasi yang menerima
penjelasan langsung dari Nabi semakin sedikit dan mereka terpencar-pencar di
sejumlah wilayah kekuasaan Islam yang baru.[32]
Oleh sebab itu
apabila segala ilmu yang bersinggungan dengan al-Qur’an tidak segera dibukukan,
akan menghambat kemajuan Islam. Dengan demikian, pada akhirnya ilmu al-Qur’an
di bukukan.
2.
Metode yang Digunakan Tabi’in
Tidak banyak perbedaan antara metode
yang digunakan sahabat dan tabi’in. Mereka cendrung sama dalam menggunakan
metode yang fundamental. Metode yang digunakan tabi’in adalah sebagai berikut:[33]
a.
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an
b.
menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis Nabi Saw.
c.
menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir sahabat.
d.
ijtihad. Jika mereka tidak menemukan jawaban di dalam al-Qur’an, Hadis, dan
tafsir sahabat, mereka berijtihad.
Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap
konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi
setelah benyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka
cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian dimasukkan kedalam tafsir. Misalnya
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih
dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini,
mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari
mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. namun demikian
pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat,
berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi
redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.[34]
3.
Mufassir yang Terkenal pada masa Tabi’in.
Di Mekah, misalnya, berdiri
perguruan tinggi Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin
Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamani
dan Atha’ bin Abi Rabah. [35]
Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih
terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapatannya tentang
tafsir banyak di nukil generasi sesudahnya. Diantara muridnya dikalangan
tabi’in, ialah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.
Di Irak berdiri perguruan Ibnu
Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’yi.
Dan banyak pula tabi’in di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang
masyhur diantaranya adalah ‘Alqamah bin
Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan
al-Basri dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.
4.
Hukum dari Tafsir Tabi’in
Ulama berbeda pendapat tentang
tafsir tabi’in. Mereka baru berpedoman pada tafsir tabi’in ini jika tidak
ditemukan tafsir dari Rasulullah Saw. dan sahabat.[36]
a.
sebagian kelompok, seperti
Ibnu Aqil, dan berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad dan Syu’bah menyatakan bahwa
tidak wajib berpegang pada tafsir tabi’in karena hal-hal berikut ini.
1)
mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah.
2)
mereka tidak menyaksikan ketika al-Qur’an diturunkan sehingga ada
kemungkinan salah paham.
3)
Sifat adil tabi’in tidak di tetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis
seperti halnya sifat adil sahabat.
b.
Sebagian kelompok lainnya, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Abi
Mulaikah, dan al-A’masy. Kelompok ini merupakan kelompok mayoritas yang
menyatakan bahwa tafsir tabi’in dapat di pegang jika tidak di temukan tafsir
Rasulullah Saw. dan sahabat. Hal itu, karena tabi’in menerima tafsir sahabat,
menghadiri majelis mereka, dan melihat tata cara ibadah mereka.
5. Nilai Tafsir Tabi’in
Sehubungan dengan
hasil ijtihad tabi’in, ulama memberikan penilaian mengenai hal tersebut:[37]
a.
Apabila penafsiran tabi’in mencakup asbab an-nuzul dan hal-hal yang
ghaib, memiliki kekuatan hukum marfu, seperti tafsir Mujahid.
b.
Apabila penafsiran tabi’in merujuk pada Ahli Kitab, hukumnya
seperti penafsiran isra’iliyat (maksudnya hadis isra’iliyat).
c.
Apa yang di sepakati oleh tabi’in dapat menjadi hujjah.
d.
Jika terdapat perbedaan pendapat, pendapat yang satu
tidak dapat mengalahkan pendapat lainnya.
e.
Jika tafsir tabi’in tidak ada yang menentang, tafsir ini lebih
rendah daripada tafsir sahabat. Akan tetapi, nilainya lebih berharga apabila
dibandingkan dengan tafsir generasi setelah mereka.
6. Menyikapi Tafsir Tabi’in
Berikut ini
langkah-langkah yang dilakukan dalam meneliti tafsir tabi’in.[38]
a.
Harus dilakukan penelitian lebih seksama berkaitan dengan sahih
atau tidaknya sanad.
b.
Harus mengumpulkan metode-metode tafsir sahabat dan tabi’in
sehingga dapat diketahui perbedaan riwayat mereka.
c.
Apabila ada dua pendapat yang sahih yang berbeda dari seorang
sahabat atau tabi’in lalu tidak dapat di kompromikan, harus dianggap sebagai
dua pendapat yang berbeda, kecuali di ketahui bahwa yang bersangkutan
meralatnya.
d.
Mengompromikan riwayat dari sahabat dan tabi’in untuk menunjukkan
maksud ayat.
e.
tidak semua perbedaan pendapat di nilai sebagai perbedaan.
f.
Memperbaharui suatu pendapat setelah adanya kesepakatan berikut.
a.
Apabila tidak beretentangan, pendapat itu dapat diterima.
b.
Apabila bertentangan , pendapat itu harus dipertimbangkan terlebih
dahulu, dan apabila telah jelas bertentangan, harus ditolak.
Tafsir Masa Tabi’ Tabi’in
1. Pembukuan Tafsir
Pada masa tabi’
tabi’in, pembukuan tafsir mengalami perkembangan yang cukup berarti sehingga
ilmu tafsir mulai dibukukan dalam
kitab-kitab kecil dan kitab-kitab besar. Dengan demikian, kitab-kitab tersebut
mencakup pengetahuan yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kitab-kitab
generasi sebelumnya.[39]
2. Mufassir yang Termasyhur Pada Masa Tabi’ Tabi’in
Proses pembukuan
tafsir tentu erat kaitannya dengan para mufassir yang menyusunnya. Berikut ini
mufasir-mufasir yang termasyhur pada masa tabi’ tabi’in. Muqatil bin Sulaiman
(w. 150H), Syu’bah bin Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan bi Sa’id Ats-Tsauri (w.161 H
), Waqi’ bin Al-Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198H), Yazid bin Harun
(w.206 H), Rauh bin Ubadah (w.207 H), Abdurrazaq bin Hamam bin Ash-Shan’ani,
Imam Al-Bukhari (w. 211 H).[40]
3. Ciri Khusus Tafsir Tabi’ Tabi’in
Penafsiran yang
dilakukan oleh tabi’ tabi’in memiliki corak yang menonjol jika dibandingkan
dengan tafsir tabi’in. Berikut ini ciri khusus tafsir tabi’ tabi’in.[41]
a.
Fokus pada sanad, baik riwayat tafsir Nabi, Sahabat maupun Tabi’in.
b.
Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan
disiplin ilmu hadis.
c.
Tidak hanya fokus pada tafsir yang marfu’ kepada Nabi, tetapi juga
mencakup tafsir sahabat dan tabi’in.
Pada masa ini,
para mufassir mulai menekankan tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi al-ra’yi sehingga tidak begitu terpengaruh dengan adanya tiga
madrasah tafsir pada masa sebelumnya, yaitu madrasah Mekah, Madinah dan Kufah.
Pada masa ini pula,
mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an secara kata perkata agar dapat memahaminya
melalui al-Qur’an itu sendiri. Model penafsiran seperti ini kemudian lebih
dikenal dengan sebuatan “al-Qur’an menafsirkan bagian lainnya” (al-qur’an
yufassiru ba’dhuhu badhan).
C. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M )
Ekspansi Islam ke berbagai daerah Jazirah Arab maupun luar Arab,
pada masa – masa Tabi’in dan tabi’ al – tabi’in semakin berkembang demikian
luas. Dan pergaulan umat Islam pun dengan dunia luar yang notabene pada umumnya
nonmuslimin / muslihat, meskipun kemudian banyak juga yang memeluk agama Islam
, kian waktu semakin kompleks. Pada zaman itu, Islam telah menguasai daerah –
daerah lain yang memiliki kebudayaan lama ( kuno ) seperti Persia, Asia Tengah,
India, Siria, Turki, Mesir, Etiopia, dan Afrika Selatan bahkan Islam berkembang
pula di
Asia tenggara terutama Indonseia di samping Malaysia, Brunei Darussalam dan
lain – lain.[42]
Sejak masa itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari pengetahuan
– pengetahuan yang dimiliki oleh penganut – penganut kebudayaan tersebut.
Karena itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, ilmu
eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban dan sebagainya, sehingga dalam beberapa
waktu saja telah dapat dimiliki dan dibukukan ilmu – ilmu gaya bahasa, ilmu
keindhan bahasa, dan segala hal yang berhubungan dengan bahasa.
Bersamaan dengan perluasan Islam ke segenap daerah / wilayah di
berbagai penjuru benua itu, peradaban dan kebudayaan Islam pun semakin
mengalami kemajuan yang sungguh berarti. Termasuk di dalamnya dunia tafsir. Para ahli tafsir, dalam menafisrkan Al –
Qur’an tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya mengahafal
riwayat dari generasi sahabat, tabi’in, tabi al – tabi’in seperti yang
diwarisinya selama ini, akan tetapi telah juga mulai berorientasi pada
penafsiran Al – Qur’an yang didasarkan pada pendekatan ilmu – ilmu bahasa pada
khususnya dan penalaran – penalaran ilmiah yang lain pada umumnya. Dalam
kalimat lain, tafsir Al – Qur’an pada periode mutaakhkhirin ini tidak lagi
hanya mengandalkan pada kekuatan tafsir bi al – matsur yang telah lama mereka
warisi, akan tetapi mereka juga telah siap untuk mengembangkan tafsir bi al –
dirayah dengan segala macam implikasinya.
Akibatnya, tafsir Al – Qur’an pun kemudiannya berkembang demikian
rupa dengan menitikberatkan pembahasan dari aspek – aspeknya yang tertentu
sesuai dengan kecenderungan kelompok – kelompok mufasir itu sendiri.[43]
Misalnya :
a.
Ada mufassirin yang lebih menekankan penafsiran Al – Qur’an dari
segi bahasa terutama keindahan ( balaghahnya ). Di antaranya tercatat nam Al –
Zamakhsyari ( 4670 – 538 H/1074-1143 M ) dengan karyanya al – kasysyaf dan
kemudian al – Baydhawi dengan kitabnya Anwar al – Tanzil wa Asrar al – Takil (
sinar Al – Qur’an dan Rahasia – rahasia Penakwilannya ).
b.
Ada golongan yang semata – mata meninjau dan menafsirkan Al –
Qur’an dari segi tata bahasa, kadang – kadang mereka menggunakan syair –
syair Arab jahili untuk mengukuhkan
pendapat mereka , seperti al – Zajjaj dalam tafsirnya ma’ani Al – Qur’an (
Makna – Makna Al – Qur’an ); al – Wahidi dalam tafsirnya al – Basith (
pemaparan ); Abu Hayyab Muhammad bin Yusuf al – Andalusi ( 654 – 754 H/ 1256 –
1353 M ) dalam tafsirnya al – Bahr al – muhith ( Lautan yang sangat luas ).
c.
Ada golongan yang menitik beratkan pembahasan mereka dari segi
kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu termasuk berita-berita dan
cerita-cerita yang berasal dari orang yahudi dan nasrani, bahkan kadang-kadang
berasa dari kaum Zindik yang ingin merusak agama islam. Dalam menghadapi tafsir
yang seperti ini sangat diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum
muslimin sendiri. Yang tekenal menafsirkan Al-Qur’an dengan sistem ini adalah
al-Tsa’labi dan ‘Alauddin bin Muhammad al-Baghdadi (w.741 H/1340 M0, termasuk
juga tafsir al Khayin (w.741 H/1340 M).
d.
Ada yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum: menetapkan hukum-hukum fiqih. Penafsiran yang seperti ini telah
dilakukan oleh al-Qurtubi (w.671 H/1272 M) dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an; Ibn al-‘Arabi (561-638 H/1165-1240 M) dengan tafsirnya Ahkam
Al-Qur’an Jashshash dengan tafsirnya Ahkam Al-Qur’an; Hasan Shiddiq Khan
(1248-1307) dengan tafsirnya Nail al-Maram.
e.
Ada golongan yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan
dengan sifat-sifat Allah. Ayat ini seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat
kesucian dan ketinggian Alah. Lalu
dengan penafsiran itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan
sifat-sifat allah. Seperti Imam al-Razy (w.610 H1213 M) dengan tafsirnya
Mafatih al-Ghaib.
f.
Ada golongan menitik beratkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat
al-qur’an yang berhubungan dengan ilmu
suluk dan tasawuf, seperti tafsir al-Tasturi susunan Abu Muhammad Sahl bin
Abdullah al-Tasturi.
g.
Ada golongan yang hanya memperhatikan lafal-lafal Al-Qur’an yang
gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti KItab Mu’jam
Gharaib al-Qur’an nukilan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dari Shahih al-Bukhari.
D.
Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M - Sekarang)
Periode ini dapat dikatakan dimulai
pada akhir abad ke-19 sampai saat ini dan mendatang. Penganut agama islam
setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa barat telah mulai bangkit
kembali. Di mana-mana umat islam telah merasakan agama mereka dihinakan dan
menjadi alat permainan serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.[44]
Maka terkenallah periode modrenisasi
Islam yang antara lain dilakukan di
Mesir oleh tokoh-tokoh Islam terkenal semisal Jamal al-din al-Afghani (
1254 – 1315 H / 1838 – 1897 M ), Syekh Muhammad Abduh ( 1265 – 1323 H / 1849 –
1905 M ) dan Muhammad rasyid Ridha ( 1282 – 1354 H / 1865 – 1935 M ). Dua orang
yang disebutkan terakhir, yakni Abduh dan Rasyid Ridha, berhasil menafsirkan Al
– Qur’an ( Tafsir al – Qur’an al – Hakim / Tafsir al Manar ) meskipun tidak
sampai tamat. Kesungguhan tafsir ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh
yang cukup besar bagi perkembangan tafsir baik bagi kitab – kitab tafsir Al –
Qur’an yang semasa dengannya dan terutama kitab – kitab tafsir yang terbit pada
masa – masa sesudahnya hingga sekarang. Cikal – cikal tafsir Al – Qur’an yang
lahir abad ke – 20 dan 21 banyak yang mendpatkan inspirasi dari Tafsir al –
Manar. Di antara contohnya ialah, Tafsir l – Maraghi, Tafsir al – Qasimi dan
Tafsir al – Jawahir karya Thanthawi jauhari.[45]
Shah Waliyullah ( 1701 – 1762 ),
seorang pembaharu dari Delhi, telah berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir
modern. Dua karyanya yang monumental, yaitu Hujjah Al – Balighah dan Ta’wil
Al – Hadis fi Rumaz Qishash Al – Anbiya, memuat pokok – pokok pemikiran
modernya. Ia tidak sia – sia, usahanya merangsang para pembaharu lainnya untuk
berbuat serupa, maka muncullah di Mesir tafsir Muhammad Abduh, tafsir Rasyid
Ridha, Ahmad Khalaf Allah, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo –
Pakistan, kita mengenal tokoh Abu Kalam Azad, Al – Msriqi, dan G.A. Parwez,
tentu saja masih banyak tokoh lainnya.[46]
Para ahli tafsir Indonesia lainnya
baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup antara lain : Dr. T.M. Hassbi Ash
– Shiddiqiey ( 1322 – 1395 H / 1904 – 1975 M ) dengan karyanya Tafsir al – Nur
dan Tafsir al – Bayan; Prof. Dr. Mahmud Yunus ( 1317 – 1403 H / 1899 – 1982 M
), A. Hassan ( 1301 – 1378 H / 1883 – 1958 M ), Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
M.A. terutama dengan karyanya Tafsir al – Misbah di samping Tafsir al –
Fatihah, dan lain – lain.
Satu hal penting yang layak dicatat
ialah bahwa gerakan penafsiran Al –Qur’an sebelum periode kontemporer, hampir
semua kitab – kitab tafsir ditulis oleh orang – orang Muslim berkebangsaan Arab
dan dalam bahasa Arab. Penafsiran Al – Qur’an ke dalam bahasa non Arab, umum
terjadi pada akhir – akhir abad ke 19 Masehi dan terutama pada abad ke – 20.
Khusus untuk tafsir Al – Qur’an di kawasan Asia Tenggara, justru dipelopori oleh
para mufassir Indonesia semisal Abdur – Rauf singkel, buya Hamka, dan lain –
lain.
Berangkat dari tujuan untuk
mengembalikan al-Qur’an sebagai Hudan Linnaas, metode yang digunakan
oleh mufassir kontemporerpun sedikit banyak berlainan dengan metode yang
digunakan oleh para mufassir klasik. Kalau mufassir klasik cendrung menggunakan
metode tahlily
(analitis), maka masa penafsiran kontemporer penafsiran dilakukan dengan metode
ijmali (global) dan maudu’iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat tertentu dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan modren seperti semantik, analisis gender,
semiotik, hermeneutika, dan sebagainya.
Dari rangkaian uraian tentang sejarah ringkas tafsir Al – Qur’an
sejak zaman Nabi Muhammad saw. Hingga sekarang yang tersebar di berbagai negara
Islam atau negara yang berpenduduk Muslim termasuk di Indonesia, terdapat
jalinan kesinambungan (mata rantai) yang tidak pernah putus. Kesinambungan mata
rantai penafsiran Al – Qur’an ini semakin memperkuat bukti keaslian kitab suci
Al – Qur’an. Kecuali itu, rangkaian penafsiran Al – Qur’an yang tidak pernah
terputus ini seyogianya disadari benar oleh para mufassir zaman sekarang bahwa
dalam menafsirkan al – Qur’an ini hendaknya kita merasa diawasi oleh Rasul
Allah ( Muhammad saw.) yang menjuluki para ulama sebagai pewaris para Nabi.
الْعُلَمَاءْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاء
“ Sesungguhnya para ulama itu adalah para ahli
waris para Nabi.” ( HR. Al – Turmizi )
Perkembangan tafsir Al – Qur’an pada
abad ke – 15 H = 21 M, kini semakin deras dan mengalir ke dalam berbagi bahasa
di seluruh dunia seiring dengan perkembangan para ilmuan Muslim yang tersebar
di seluruh pelosok dunia. Meskipun terkadang diwarnai dengan sedikit polemik
terhadap penafsirannya mengingat ada beberapa orang yang boleh jadi asal ikut –
ikut menafsirkan Al – Qur’an yang jelas tafsir Al – Qur’an kini telah merata ke
seluruh penjuru dunia dan meliputi semua bahasa.[47]
Perkembangan Metode Tafsir
Sejarah
perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an pada saat
itu secara ijmali, artinya
tidak memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya tidak diperlukan
uraian yang detail, karena itu penjelasannya hanya bersifat global (ijmali)
saja sudah dirasa memadai pada waktu itu. Atas dasar itulah maka dikatakan
bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali
muncul dalam kajian tafsir Qur’an.
Kemudian
pada periode selanjutnya diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’stur,
kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir
dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan
kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan
sebagainya. Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern
yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i [metode tematik]. Lahir pula
metode muqarin [metode perbandingan], hal ini ditandai dengan
dikarangnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip.
Lahirnya
metode-metode tafsir tersebut,
disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu
dinamis. Pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa
Arab dan mengetahui secara baik latar belakang
turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi
dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif
dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada
kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi
cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmali]. Itulah
sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya
tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an.
Setelah Islam mengalami perkembangan
lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam,
membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islam. Maka,
konsekuensi dari perkembangan
ini membawa pengaruh
terhadap penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang sesuai
dengan perkembangan zaman dan
tuntutan kehidupan ummat
yang semakin kompleks dan
beragam. Kondisi ini, merupakan pendorong
lahirnya tafsir dengan metode analitis [tahlili],
sebagaimana tertuang di
dalam kitab-kitab tafsir
tahlili. Metode penafsiran serupa
itu terasa lebih cocok di
kala itu, karena dapat memberikan pengertian
dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an.
Akhirnya berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yang lain
yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai model yang dihasilkannya,
seperti fiqih, tasawwuf, falsafi,
ilmi, adabi ijtima’i dan
lain-lain.
Dengan munculnya dua
bentuk penafsiran (ijmali dan tahlili) dan didukung
kondisi ummat ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang
kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda. ini, mendorong para
ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat
al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir
sebelumnya dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an. ”Dengan demikian
lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] Perkembangan selanjutnya
pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada
abad modern yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi
terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan
realitas kehidupan masyarakat.
Untuk itu, ”ulama
tafsir pada abad modern menawarkan tafsir
al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik
[maudhu’i].
Pembagian Metode Tafsir
1.
Metode Ijmali
Metode tafsir
ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian
panjang lebar. Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an secara
ringkas tapi mencakup dengan
bahasa yang lebih umum dikenal
lebih luas, mudah dimengerti, dan
enak dibaca. Sistimatika penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di
dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.
Dengan
demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir
Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf,
seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam
tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup
jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan
tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
Ciri umum
metode ijmali adalah (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana
seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur'an dari awal sampai akhir
tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan
pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara
rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan
penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.
Sebagai contoh:
”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5 ayat
pertama dari surat
al-Baqarah, tampak tafsirnya
sangat singkat dan global
hingga tidak ditemui
rincian atau penjelasan
yang memadai. Penafsiran tentang
الم) (misalnya, dia
hanya berkata: Allah Maha Tahu
maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaaba ( الكتاب ) penafsiran hanya
dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya,
tanpa ada rincian sehingga penafsiran
lima ayat itu hanya dalam
beberapa baris saja.
Berbeda dengan
tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat
pertama itu ia membutuhkan 7
halaman. Hal ini
disebabkan uraiannya bersifat analitis terperinci dengan mengemukakan berbagai pendapat dan
didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-Qur’an atau
hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga tidak ketinggalan
argumen semantik.
Adapun contoh
kitab tafsir ijmali adalah di antaranya yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal
al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah
Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an
karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut, al-Tafsir
al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, Al-Tafsir al-Wasit,
terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman
al-Mirghani, dan sebagainya.
2. Metode Tahlili
Secara etimologis, tahliliy berasal dari
bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau
“menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah
suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan
berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an[48].
Metode Tafsir
analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek
yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir
membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang
tersusun di dalam
al-Qur’an. Tafsir yang
memakai pendekatan ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya
dengan cara sedikit demi sedikit, dengan
menggunakan alat-alat penafsiran
yang diyakini efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti
harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian
yang sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam
membantu menerangkan makna bagian yang
sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut.
Metode tafsir ini berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an
dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan
lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya,
sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat
para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang
pendidikan dan keahliannya
Ciri-ciri metode tahlili adalah penafsiran yang mengikuti metode ini
dapat mengambil bentuk ma’tsur
[riwayat] atau ra’y [pemikiran]:
Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an
Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H], Ma’alim
al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir
Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir
[w.774H], al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan
al-Suyuthi [w.911H], dan lain-lain.
Jadi, pola penafsiran
yang diterapkan oleh
para pengarang kitab-kitab
tafsir di atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung
di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik
yang berbentuk al-ma’tsur
maupun al-ra’y. Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan
beberapa corak tafsir
yang tercakup dalam
tafsir tahlili, sebagai contoh,
yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan
hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin.
Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil
ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak
hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan
ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi
peringkatnya adalah tafsir
yang berdasarkan ayat
al-Qur’an yang ditunjuk oleh
Rasulullah. Peringkat kedua adalah
tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat]
sahabat dan peringkat terakhir adalah
tafsir ayat dengan aqwal tabiin.
Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam
memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya
(penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang
sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang
tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang
terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap
selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang
ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga
ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri
sebagai disiplin ilmu yang terpisah.
3. Metode Muqarin [Komparatif]
Tafsir al-Muqarin adalah penafsiran sekolompok
ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan
antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun
redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud
dengan metode komporatif ialah: [a] membandingkan teks [nash] ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau
lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, [b]
membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat
bertentangan, dan [c] membandingkan
berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
Tafsir
al-Qur’an dengan menggunakan
metode ini mempunyai cakupan yang
teramat luas. Ruang lingkup
kajian dari masing-masing aspek
itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya
dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. .
Ciri utama metode ini adalah ”perbandingan” [komparatif]. Di sinilah letak salah satu
perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal
ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan
ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum
sebagai berikut :
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki
redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits
Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir
dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan
ayat Al-Qur’an yang lain; Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat
lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih
masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda
dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan
macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai
berikut :
(a) Perbedaan tata letak kata dalam
kalimat, seperti :
ﻗﻞ ﺇﻥ ﻫﺪﯼ ﷲ
ﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah:
Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah
: 120)
ﻗﻞ ﺇﻥ ﺍﻟﻬﺪﯼ ﻫﺪﯼ ﷲ
“Katakanlah :
Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am
: 71)
(b) Perbedaan dan penambahan huruf,
seperti :
ﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ ﺃﻡ ﻟﻢ ﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi
mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi
peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ ﺃﻡ ﻟﻢ ﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi
mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi
peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti
:
ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻚ ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang
membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻪ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang
membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada
mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
(d) Perbedaan nakirah (indefinite
noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﷲ ﺇﻧﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﺴﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﷲ ﺇﻧﻪ ﺳﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf :
200)
(e) Perbedaan bentuk jamak dan
tunggal, seperti :
ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ ﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan
disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah :
80)
ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ ﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan
disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.”
(QS. Ali-Imran : 24)
(f) Perbedaan penggunaan huruf kata
depan, seperti :
ﻭﺇﺫ ﻗﻠﻨﺎ ﺍﺩﺧﻠﻮﺍ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ ﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
: Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫ ﻗﻴﻞ ﻟﻬﻢ ﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ ﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)
(g) Perbedaan penggunaan kosa kata,
seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﺃﻟﻔﻴﻨﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﻭﺟﺪﻧﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
(h) Perbedaan penggunaan idgham
(memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻕ ﺍﷲ ﻓﺈن ﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang
(yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS.
Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻕ ﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﺈن ﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang
(yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan
perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh
beberapa langkah : (1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki
redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda,
(2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan
redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya
dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan
perbandingan.
Sedang dalam hal perbedaan
penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari,
menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu
apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas
argumentasi masing-masing.
Perbandingan adalah ciri utama bagi
Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara
metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan
bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah
pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu
jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode
muqarrin”.[49]
4.
Metode Maudhu’i [Tematik]
Metode
tematik ialah metode yang membahas
ayat-ayat al-Qur’an sesuai
dengan tema atau judul yang
telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun,
kemudian dikaji secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau
fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang
berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak
dilakukan ayat demi ayat. al-Qur’an
dikaji dengan mengambil
sebuah tema khusus dari berbagai
macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an.
Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah
di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam
Qur’an dan sebagainya.[50]
M. Quraish
Shihab[51],
mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama,
penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan
tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam
dalam surat tersebut
antara satu dengan
lainnya dan juga dengan
tema tersebut, sehingga
satu surat tersebut
dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang
bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu
dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut
sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an
secara utuh tentang masalah yang
dibahas itu.
Dalam
perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan kotak
berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada
satu surat saja. Biasanya kandungan pesan
tersebut diisyaratkan oleh
nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut
bersumber dari informasi rasul. Kedua,
metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun
pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja[52].
Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul
atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini
juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik
yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau
dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas
dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk
yang termuat di dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari
pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat
dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu
dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku
secara umum di dalam ilmu tafsir.
Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim dalam bentuk
penerapan ide. Syaltut tidak lagi menafsirkan
ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian
tertentu dalam satu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama dan
petunjukpetunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian
merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat
tersebut.
Di Irak, seorang pakar
tafsir yang bernama
Muhammad Baqir al-Shadr melakukan upaya-upaya penafsiran al-Qur’an
dengan menggunakan metode ini. Al Shadr menulis uraian tafsir tentang
hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip dengan
metode tersebut yang ia beri nama Metode Tawhidy (kesatuan).[53]
Diantara karya-karya
tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi
al-Qur’an karangan Abbas Mahmud
al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-Maududy, al-Aqidah
fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an karangan
Ahmad Kamal Mahdy, Muqawwamat
al-Insaniyah fi al-Qur’an karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir
Surat Yaasin karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid
al-Kumy, Adam fi al-Qur’an karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir,
Al-Husaini Abu Farhah menulis buku
tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li al-Ayat
al-Qur’aniyah” dalam dua
jilid dengan memilih
banyak topik yang dibicarakan al-Qur’an.
Dalam menghimpun
ayat-ayat yang ditafsirkan
secara Maudu’iy, Al-Husaini tidak
mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan
jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana juga tidak
dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekah sambil
membedakannya dengan ayat-ayat yang turun pada periode Madinah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Tafsir Periode Nabi SAW
Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah
Saw. ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an
dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan
al-Sunnah atau al-Hadist, jika al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu
Allah, baik teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali Hadis
Qudsi- pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat
al-Qur’an. Rasulullah
tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga akhirnya cendrung
tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai
sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum,
memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.
b. Tafsir Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)
Masa Sahabat
|
Masa Tabi’in
|
Masa Tabi’ Tabi’in
|
Al-Qur’an belum ditafsirkan secara
menyeluruh.
|
Tafsir telah mencakup sebagian besar ayat
al-Qur’an.
|
Tafsir telah mencakup seluruh ayat al-Qur’an.
|
Perbedaan pemahaman tidak banyak terjadi.
|
Perbedaan pemahaman semakin banyak.
|
Telah banyak diwarnai perbedaan dan
perdebatan pendapat baik dalam bidang teologi maupun fiqh.
|
Merasa cukup hanya dengan makna ayat secara
global.
|
Muncul penafsiran terhadap setiap ayat dan
kosakata.
|
Mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an
secara kata perkata agar dapat memahaminya melalui al-Qur’an itu sendiri.
|
Belum terjadi perbedaan mazhab.
|
Banyak terjadi perbedaan mazhab.
|
Banyak terjadi perbedaan mazhab.
|
Tafsir belum di bukukan.
|
Tafsir sudah mulai di bukukan
|
Tafsir sudah mulai dibukukan dalam
kitab-kitab kecil dan besar.
|
Tafsir masih dalam bentuk hadis dan riwayat.
|
Tafsir sudah menjadi di siplin ilmu
tersendiri, meskipun masih berbentuk riwayat.
|
Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri,
tetapi masih menyatu dengan disipin ilmu Hadis.
|
Hanya sedikit dimasuki riwayat israiliyat
|
Banyak merujuk kepada riwayat israiliyat dan
ahli kitab.
|
Tafsir al-Qur’an telah banyak di susupi oleh
kisah-kisah isra’iliyyat.
|
c. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 - 19 M )
Adapun
perkembangan tafsir pada masa ini sebagai berikut:
a.
Sebagian mufassir lebih menekankan penafsiran al-Qur’an dari segi
bahasa terutama keindahan balaghahnya. Dan sebagian yang lain, menafsirkan al-Qur’an
dari segi tata bahasa, kadang menggunakan sya’ir-sya’ir Arab Jahili..
b.
Ada yang megutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan
hukum.
c.
Sebagian ada yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan sifat-sifat Allah. Serta sebagian menitikberatkan penafsirannya kepada
isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawwuf.
d.
Pembukuan tafsir sangat berkembang pesat, hingga kitab-kitab tafsir
dibukukan berdasarkan aliran masing-masing suatu golongan. Sepeti, tafsir
aliran Mu’tazilah, tafsir aliran Syi’ah.
d.
Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M - Sekarang)
pada periode ini tafsir al-Qur’an
semakin banyak terlahir dengan dipengaruhi berkembangnya berbagai
macam disiplin ilmu pengetahuan. Pada periode ini pula tafsir al-Qur’an banyak
dilakukan para mufassir dengan menggunakan metode ijlami (global) dan metode
maudhu’iy (tematik).
Setelah
mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir maka diantara semua metode
memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara mufassir tidak dibenarkan untuk
mengklaim tafsirnya lah yang memiliki kebenaran muthlak. Inilah yang patut
untuk dihindari sikap truth claim diantara mufassir. Sebab pencarian makna
hakiki akan maksud teks ketuhanan yang termaktub dalam qur’an merupakan
pencaraian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar pemikiran inilah
diyakini sangat terbuka untuk menemukan metode-metode lain sebagai alternatif
pengembangan metodologi tafsir. Sejumlah pihak mengatakan bahwa metodologi yang
dapat dikembangkan adalah metode Tahlili, sebagian metode maudzu’i dan
sebagian yang lain mengatakan yang wajib
dikembangkan adalah metode Muqarin. Masing-masing kelompok ini memiliki
argumentasinya masing-masing. Sehingga muncul istilah-istilah justification
tafsir yang madzmumah dan mahmudah., yang mu’tabarah dan ghoiru
mu’tabarah. Ini jelas memunculkan sebuah penilaian yang sangat subyektif
yang jauh dari karakter keilmuan yang mestinya memiliki paradigma yang lebih
obyektif dalam setiap hasil pemikiran.
Untuk
mendapatkan penafsiran al qur’an sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah
) (بيان مردالله adalah pencarian yang tiada henti. Misalnya
pemikir-pemikir muslim seperti Fazllur Rahman, Shahrur Nasr Hamid Abu Zaid,
adalah diantara tokoh muslem kontemporer
yang mencoba terus melakukan pencarian dan melakukan kritik-kritik metodologi
terhadap penafsiran dan interpretasi teks Al qur’an. Dengan segenap narasi yang
mereka ungkapkan pemikiran-pemikiran para tokoh ini cukup memberikan warna yang
patut dipertimbangkan mesti sampai detik ini konsepsi mereka belum memiliki
tempat yang konkret dan aplikatif.
DAFTAR PUSTAKA
Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers,
2014
Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafir, Jakarta: Amzah, 2014
M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
TERAS, 2010.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a, Bandung: Mizan. 1992.
M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin ; Dalam Perspektif Pemahaman
Al Qur’an, Surabaya ; IAIN Sunan Ampel, 1997 Naskah Pidato Guru Besar ilmu
Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel.
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern,
Yogyakarta: Menara Kudus, 2004.
Imam Muchlas, Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel
Periode 1986-2003, Penerbit; IAIN Sunan Ampel, 2004
Akbar, Ali, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Pekanbaru: Yayasan Pusaka
Riau, 2011
Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,
Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar,
2005
Anwar, Rosihon, Pengantar
Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia, 1990.
Abdul Hay, Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Kairo: al-Hadaharah al-
‘Arabiyah, 1977.
[1]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 172.
[3] Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini,
(Jakarta : Kalam Mulia, 1990), hlm. 64-71.
[4] M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir
Muqarin;Dalam Perspektif Pemahaman Al Qur’an (Surabaya;IAIN Sunan Ampel)
1997) Hal. 5-8 ,Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Ampel
[5][2] Ali Akbar, Sejarah Dan Pengantar Ilmu
Tafsri, (Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau, 2011), Hal. 1
[6][3] Muhammad ‘Abdul ‘Azhim Al-Zarqani, Manahil
Irfan Fi Ulumul Quran, (Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-Arabiy, 1995), Cet.
Ke-1, Juz 2, Hal. 334
[7][4] Badr Al-Din
Muhammad Ibn Abdullah Ibn Bahadir Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulumil
Quran, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1957) Juz 2, Hal. 163-164
[8][5] Khalid Bin Utsman Al-Tsabt, Qawaid
Al-Tafsir Jam’an Wa Dirasasatan, (Arab Saudi: Dar Ibn Affan, 1997), Cet.
Ke-1 Jilid 1, Hal. 29
[9] Muhammad Amin Suma. Ulumul
Qur’an (Jakarta:Rajawali Pers:2014) hal. 318
[10] Yayan Rahtikawati, Dadan
Rusmana, Metodologi Tafsir al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2013)
31.
[12] Tim Forum Karya Ilmiah
RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,
(Kediri: Lirboyo Press, 2011). h. 201-202
[13] Al-Qur’an, 6:82.
[14] Muhammad Abdurrahman
Muhammad, Penafsiran Al-Qur’an Dalam Perspektif Nabi Muhammad SAW, terj.
Rosihon Anwar, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), 99.
[15] Al-Qur’an, 31:13.
[16] Muhammad Abdurrahman
Muhammad, Penafsiran Al-Qur’an Dalam Perspektif Nabi Muhammad SAW, terj.
Rosihon Anwar, 101.
[17] Al-Qur’an, 74:56.
[18] H.R. At-Turmudhi.
[19] Ahmad Syurbasyi, Studi
tentang sejarah perkembangan tafsir al-qur’an al-karim,(Jakarta : Kalam
Mulia, 1999) 87.
[20]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an
Dan Tafsir, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2009) 183.
[21]
Ibid., 88.
[23] Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Tafsir wa al-Mufassirūn, (Kairo :
Maktabah wahbah, t.th) juz 1, 29.
[24]
Al-Qur’an, 2 : 238
[26] Kahar
Masyhur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992) 173.
[27]
Ibid., 174.
[28]
Ibid., 166.
[29] Imam
Jalaluddin as-Suyuṭi, Al-Itqan fî Ulûm al-Qur’an, (Bairut : DKI, 2012)
587.
[30]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an
Dan Tafsir, 182-183.
[31]
Syaikh Manna Al-Qaththan.. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. (Jakarta:Pustaka
Al-Kautsar.2005) hal:426
[32]
Samsurrohman. Op.cit. hal. 65
[33]
Ibid. hal. 67
[34]
Syaikh Manna Al-Qaththan.opcit. hal:428
[35]
Ibid. hal. 427
[36]
Samsurrohman. Op.cit. hal. 69
[37]
Ibid
[38]
Ibid. hal. 70
[39]
Ibid. hal. 71
[40]
Ibid. hal. 72
[41]
Ibid. hal. 73
[42]
Muhammad Amin Suma. Opcit. Hal. 327
[43]
Ibid. hal. 328
[44]
Ibid. hal. 330
[45]
Ibid
[46]
Rosihon Anwar. Pengantar Ulumul Qur’an. (Bandung: Pustaka Setia. 2009) hal.283
[47] Muhammad Amin Suma. Opcit. Hal. 331
[48] Mohammad
Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al
Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004, hlm
[49] Untuk lebih memperkuat
konsep pembahasan metodologi tafsir muqarin dapat dibaca dalam naskah pidato
guru besar M.Ridlwan Nasir, yang berjudul Teknik Pengembangan Metode Tafsir
Muqarin;Dalam Perepektif Pemahaman Al Qur’an, dalam buku Himpunan Orasi
Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN
Sunan Ampel, th 2004
[50] Untuk memperluas pembahasan tafsir tematik, baca
tulisan Prof.Imam Muchlas, Metode
Penafsiran al Qur’an Tematis Permasalahan, dalam buku Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN
Sunan Ampel Periode 1986-2003,Penerbit;IAIN Sunan Ampel, th 2004
[51] Untuk pendapat dan konsepsi pemikiran tafsir Quraish Shihab dapat di lihat
secara lebih utuh dalam bukunya, Membumikan al-Qu’an. Penerbit Mizan,Bandung 1992. dan pengantar Tafsir Al Mishbah
[52] Abdul Hay,Al-Farmawy,
al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,(Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah,
1977.). 23
[53] Ibid
Bagus sekali maklahnya
BalasHapus