Makalah ( Muhkam Mutasyabbih)



MAKALAH
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Diajukan untuk memenuhi tugas pascasarjana pada mata kuliah:
Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Syukron, MA










Oleh:
Wifa El-Khaira Ramadhan
Muyassaroh Zaini



ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
1439 H/2017 M 






                                                                            BAB I
                                                                 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan untuk makhluk-makhluk-Nya itu satu akidah yang benar dan prinsip-prinsip ajaran yang lurus dalam ayat-ayat yang jelas dan tegas karakteristiknya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada ummat manusia. Dimana Dia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama demi menyelamatkan akidah mereka dan menunjukkan jalan lurus yang harus mereka tempuh.
Pokok-pokok agama tersebut di beberapa tempat dalam Al-Qur’an terkadang dinyatakan dengan lafadz, ungkapan dan gaya bahasa yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain maknanya cocok dan serasi. Tak ada kontradiktif di dalamnya. Adapun mengenai masalah-masalah cabang agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang sudah jelas dan ada yang samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang pada para mujahid yang ilmunya telah memadai untuk mengembalikan kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat parsial (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli). Masalah ayat-ayat muhkam dan mutasyabih ini termasuk penting dalam kajian ulumul Qur’an, oleh karena itu, akan kita bahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian muhkam dan mutasyabih?
2.      Apa urgensi mempelajari ilmu muhkam dan mutasyabih?
3.      Apa sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an ?
4.      Apa macam-macam mutasyabih ?
5.      Bagaimana mutasyabih dalam ayat-ayat tentang sifat Allah ?
6.      Bagaimana perdebatan ulama’ seputar mutasyabih ?
7.      Apa hikmah mengetahui muhkam dan mutasyabih ?



C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian muhkam dan mutasyabih.
2.      Mengetahui urgensi mempelajari ilmu muhkam dan mutasyabih.
3.      Mengetahui sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an.
4.      Mengetahui macam-macam mutasyabih.
5.      Mengetahui mutasyabih dalam ayat-ayat tentang sifat Allah.
6.      Mengetahui perdebatan ulama’ seputar mutasyabih.
7.      Mengetahui hikmah mengetahui muhkam dan mutasyabih.





                                                                               BAB II
                                                                       PEMBAHASAN
A.    Pengertian muhkam dan mutasyabih
Muhkam dan mutasyabih memiliki pengertian secara umum dan khusus.
1.       Muhkam dan mutasyabih secara umum
Menurut bahasa, muhkam berasal dari kata hakama yang berkisar maknanya pada “menghalangi”. Seperti hukum, yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiyaan, demikian juga hakim. Jadi,  Muhkam adalah sesuatu yang terhalangi/ bebas dari keburukan.[1]
Dengan pengertian itulah Allah menyifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya dalam surat al-Huud ayat 1.
الٓر ۚ كِتَٰبٌ أُحْكِمَتْ ءَايَٰتُهُ، ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
 “Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci[707][2], yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”. (QS.Hud [11] : 1).

“Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam, “maksudnya yaitu seluruh kata-katanya kokoh, fasih, dan membedakan anatara yang haq dengan yang bathil, serta antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al’am atau makna muhkam secara umum.[3]
Adapun mutasyabih secara bahasa berasal dari as-Syabah yakni bila satu dari dua hal yang serupa dengan yang lain.[4] Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara kongkrit maupun abstrak.
Ada yang mengatakan bahwa seluruhnya Al-Qur’an itu mutasyabih, sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat az-zumar ayat 23.
 ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ كِتَٰبًا مُّتَشَٰبِهًا
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa. (QS. Az-Zumar [39]: 23).
Yang dimaksud ayat az-zumar di atas adalah ayat-ayat Al-Qur’an serupa dalam keindahan dan ketepatan susunan redaksinya serta kebenaran informasinya.[5]
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak dan umum sebagaiman di atas ini tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan yang lain. Jadi, pernyataan “Al-Qur’an itu seluruhnya muhkam” adalah dengan pengertian itqan (kokoh, indah), yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafadz-lafadznya berbeda-beda.[6]
2.      Muhkam dan mutasyabih secara khusus
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkam dan mutasyabih yang dimaknai secara khusus, sebagaimana dalam firman Allah.
هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ مِنْهُ ءَايَٰتٌ مُّحْكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٌ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَآءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِۦ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰب
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS.  Ali ‘Imran [3]: 7)

Ayat di atas menjelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang muhkam dan mutasyabih.
Khusus dalam masalah definisi muhkam dan mutasyabih, terjadi banyak perbedaan pendapat, yaitu :[7]
1.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dpat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sementara itu, ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang hanya maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti kedatangan hari Kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqaththa’ah. Definisi ini dikemukakan kelompok Ahlussunnah.
2.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan mutasyabih sebaliknya.
3.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain, sedangkan mutasyabih mempunyai kemungkinan sisi lain arti banyak. Definisi ini dikemukakan Ibn ‘Abbas.
4.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat dipahami akal,seperti bilangan rakaat shalat, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sedangkan mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan Al-Mawardi.
5.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefardhuan, ancaman dan janji, sedangkan ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpaan-perumpamaan.
6.      Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaanya), sedangkan ayat mutasyabih bergantung pada ayat yang lain.
Dari definisi-definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang jelas maknanya, masuk kedalam katagori muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas) dan zhahir. Adapun  mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. Masuk dalam katagori mutasyabih ini adalah mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), dan musykil.[8]




B.     Urgensi mempelajari ilmu muhkam dan mutasyabih
1.      Mempermudah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
2.      Dapat membedakan mana ayat muhkam (ayat yang jelas maknanya) dan mutasyabih (ayat yang masih samar)
3.      Menambah pengetahuan kita tentang al-Qur’an sehingga diharapkan keimanan kitapun ikut bertambah.
4.      Sebagai motivasi bagi ummat islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungan ayat-ayat al-Qur’an.
5.      Mengetahui hikmah diturunkannya ayat muhkam dan mutasyabih.

C.    Sebab-sebab terjadinya tasyabuh dalam al-Qur’an
Para ulama’ mengembalikan sebab-sebab terjadinya mutasyabbih pada tiga hal pokok :[9]
1.      Kesamaran pada lafadz/kata yang digunakan ayat, seperti firman Allah yang menginformasikan sikap Nabi Ibrahim
as. Terhadap patung-patung sembahan kaumnya. Firman Allah pada QS. Ash-Shaffat [37]: 93.
فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًۢا بِٱلْيَمِينِ
lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat).

Kata yamin tidak jelas maksudnya, apakah dalam arti tangan kanan atau kuat sumpah sehingga ayat tersebut dapat dipahami dalam arti Nabi Ibrahim as. : pergi dengan cepat dan sembunyi-sembunyi menuju patung-patung itu, lalu memukulnya dengan tangan kanannya, atau memukulnya dengan keras, atau memukulnya disebabkan oleh sumpah yang pernah diucapkannya bahwa dia akan merusak berhala-berhala itu.[10]
2.      Kesamaran  pada maknanya, seperti uraian al-Qur’an tentang sifat-sifat Allah, misalnya:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ
“Tangan Tuhan di atas tangan mereka” (QS. al- Fath [48]: 10).
3.      Kesamaran pada lafadz dan maknanya, seperti firman Allah :
وَ لَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوْالْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا
“Bukannya kebajikan memasuki rumah dari belakangnya” (QS. al-Baqarah [2]: 189).
Penggalan ayat ini dapat dinilai mutasyabih, karena redaksinya yang sangat singkat. Di samping itu maknanya tidak jelas sehingga diperlukan pengetahuan menyangkut adat istiadat masyarakat Arab Jahiliyah/awal masa Islam, menyangkut cara mereka masuk rumah.

D.    Macam-macam mutasyabih
      Ditinjau dari sisi jangkuan pengetahuan manusia terhadap maknanya, ayat-ayat mutasyabihat dapat dibagi kepada tiga macam:[11]
1.        Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak mampu mengetahuinya, seperti pengetahuan tentang zat Allah dan hakikat sifat-sifat-Nya, pengetahuan tentang kiamat dan hal-hal gaib lainnya, firman Allah dalam surat Thaha ayat 5 :
اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
  (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy”. (QS. Thaha [20]: 5).
2.        Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat yang menggunakan kosakata yang Gharib/ tidak populer, kosa kata yang bersifat ambigu seperti kata Quru’ atau kata Ma’ruf dalam tuntunan-Nya menyangkut penggunaan harta anak yatim bagi wali sang anak. Dalam QS. an-Nisa’ [4] ayat 6 Allah berfirman:
وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْ كُلْ بِالْمَعْرُوْف
“siapa (dari para wali) yang miskin makan hendaklah ia makan (gunakan) harta anak yatim yang dalam pengelolaannya dengan ma’ruf”. (QS. an-Nisa’ [4]: 6).

Apakah Ma’ruf di sini terambil dari kata al-“Urf yang berarti upah pengelolaan, atau ia terambil dari kata al-‘Aref dalam arti yang harum/dipuji sehingga sang pengelola tidak mengambil upah, atau kalau pun mengambil ia mengambil lebih sedikit dari hak pengelolaannya yang normal.[12]
3.        Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu yaitu ulama-ulama yang jernih jiwanya. Ayat-ayat semacam ini tidak dapat terungkap maknanya hanya dengan menggunakan nalar semata-mata.

E.     Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah
Termasuk ayat-ayat mutasyabbih adalah ayat-ayat tentang sifat Allah diantaranya yaitu:
1.      Q.S. Thaha [20]:5
اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas ‘Arsy.
Penjelasan: Menurut aliran Musyabbihah mengatakan bahwa Allah duduk bersela mantap diatas arsy serupa dengan duduknya manusia karena arti istawa dalam bahasa arab artinya duduk bersela/ bersemayam. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah ayat tersebut tidak boleh ditakwilkan, Allah duduk diatas arsy tetapi duduknya tidak serupa dengan duduk makhluknya. [13]
Adapun menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah duduk (Jalasa) atau bersemayam atau berada diatas arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya. Juga tidak boleh dikatakan Allah duduk tidak seperti duduk kita sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh al Bayhaqi (W.458 H), al Imam al Hafizh Taqiyuddin as-Subki (W.756 H) dan al Hafizh Ibnu Hajar ( W.852 H) dan lainnya. Kemudian kata Istawa sendiri dalam bahasa arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa harus diartikan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat muhkamat. Sehingga makna yang tepat pada ayat diatas adalah qahara (menundukkan atau menguasai) yakni Allah menguasai ‘Arsy sebagaimana Ia menguasai semua makhlukNya. [14]

2.      Q.S Al-Qashshash [28]: 88 dan Q.S. Ar-Rahman [55]: 27
كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ
Artinya: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوالْجَلاَلِ وَالْإِكْرَام
Artinya: Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.
Penjelasan: Menurut aliran musyabbihah menerangkan bahwa Allah punya wajah kekal dalam artian wajah Allah tidak akan binasa.  Al-Imam al-Bukhori berkata;  إِلاَّ وَجْهَهُ  kecuali Sulthan (Tasharruf-Kekuasaan) Allah. Al-imam  Sufyan As- Tsauri mengatakan: “ . . . Kecuali amal shaleh yang dilakukan hanya mengharap ridha Allah”. Sedangkan Ibnu Taimiyah ayat ini tidak boleh ditakwilkan, Allah bermuka tetapi mukanya tidak sama dengan muka makhluknya. [15]

3.      Q.S Al-Fath [48]:10 dan Q.S Shad [39]: 75
يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيِدِيْهِمْ
Artinya: Tangan Allah diatas tangan mereka.
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَأَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
Artinya: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?

Penjelasan: Kalimat yad pada ayat diatas secara sepintas menjelaskan bahwa Allah punya tangan yang dipergunakan untuk menjadikan sesuatu. Keyakinan seperti inilah yang dianut oleh aliran musyabbihah. Sedangkan menurut Ahlussunnah wal jama’ah kalimat Yad ditakwilkan, dan takwilnya adalah “ Al-Qudrah” ( Kekuatan). Adapun Ibnu Taimiyah mengatakan kalimat yad tidak boleh ditakwilkan, Allah punya tangan tapi tangan Allah tidak sama dengan makhluk.

4.       Q.S. Al-Mulk []: 16
ءَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَآءَ
Artinya: Sudah merasa amankah kamu bahwa Dia yang dilangit.
Penjelasan: Pakar tafsir Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsir al-Bahr al-Muhiith mengatakan: Yang dimaksud مَنْ فِي السَّمَآءَ dalam ayat tersebut adalah Malaikat. Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. [16]
5.      Q.S Al-Hadid [57]: 4
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Artinya: Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada
Penjelasan: Ayat ini menjelaskan bahwa Allah selalu mengintai setiap insan dan mengikuti mereka kemanapun mereka pergi. Dalam bahasa arab kata Ma’a adalah yadullu ‘ala makan al-ijtima’ li jaman al-ijtima’ aw li al-mushahabah (menunjukkan perkumpulan pada suatu tempat atau masa yang sama atau bisa juga diartikan bersama). [17]
            Dengan demikian musyabbihah meyakini bahwa Allah bercampur dengan manusia layaknya manusia bergaul dengan temannya. Sedangkan menurut ahlussunnah ayat ini harus ditakwilkan, maknanya menjadi “ Allah mengetahui, melihat dan mendengar dimanapun kalian berada”. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah sependapat dengan ulama ahlussunnah. Ia mengikut pada pendapat Ibnu Abbas, Sufyan ats-Tsauri dan Ahmad ibn hanbal.

F.     Pendapat ulama seputar mutasyabihat
Berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabih, para ulama berbeda pendapat dalam menanggapinya. Sebagian diantara mereka ada yang menafsirkan dengan cara mentakwilkannya pada pemahaman yang lain, ada juga sama sekali tidak menafsirkannya tapi dengan konsekwensi pernyataan ayat tidaklah seperti apa yang ada dalam benak manusia karena tidak ada satupun yang menyamai Allah. Perbedaan ini dibagi dalam dua mazhab, yaitu :[18]
1.      Mazhab Salaf yaitu mengimani sifat-sifat yang mutasyabihah itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka menyucikan Allah dari penegrtian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an.
Ibnu ash-Shalah (w.643 H) menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dari para pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqh.
2.      Mazhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama mutaakhirin.
Berbeda dengan ulama salaf  yang menyucikan Allah dari pengertian lahir ayat-ayat mutasyabih itu, mengimani hal-hal ghaib sebagaimana dituturkan Al-Qur’an, dan menyerahkan bulat-bulat pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih.
Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibnu ad-Daqiq al-‘Id (w. 702 M) mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka menyucikan Allah. [19]


G.    Hikmah mengetahui muhkam dan mutasyabih
 Adapun mengetahui hikmah ilmu muhkam dan mutasyabih adalah sebagai berikut :
1.      Jika semua Al-Qur’an itu muhkam, maka pastilah hanya sesuai dengan satu mazhab saja. Dan hal itu akan membuat lari para pengikut madzhab lainnya dan tidak mau menerimanya dan mengkajinya.[20]
2.      Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia.
3.      Sebagai motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungan Al-Qur’an dan bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan berfikir.
4.      Memeperlihatkan kelemahan akal manusia.[21]
5.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih.
6.    Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya.


 


                                                                        BAB III
                                                                  KESIMPULAN
            Muhkam adalah ayat-ayat yang sudah jelas maknanya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang masih samar/ belum jelas dan membutuhkan takwil. Yang menyebabkan terjadinya tasayabuh dalam Al-Qur’an adalah karena adanya kesamaran pada lafadz, makna dan kesamaran pada lafadz dan makna. Ditinjau dari sisi jangkuan pengetahuan manusia terhadap maknanya, ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam tiga macam, pertama, Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak mampu mengetahuinya. Kedua, Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maknanya melalui penelitian dan pengkajian. Ketiga, Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu yaitu ulama-ulama yang jernih jiwanya. Berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabih, para ulama berbeda pendapat dalam menanggapinya. Sebagian diantara mereka ada yang menafsirkan dengan cara mentakwilkannya pada pemahaman yang lain (khalaf), ada juga sama sekali tidak menafsirkannya tapi dengan konsekwensi pernyataan ayat tidaklah seperti apa yang ada dalam benak manusia (salaf) karena tidak ada satupun yang menyamai Allah. Salah satu hikmah ayat muhkam dan mutasyabih adalah sebagai motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungan Al-Qur’an.


        [1] Quraish Shihab, Kaidah tafsir, (tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 209
[2] Maksudnya: diperinci atas beberapa macam, ada yang mengenai ketauhidan, hukum, kisah, akhlaq, ilmu pengetahuan, janji dan peringatan dll.
[3] Manna Khalil al-Qattan, studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2015), hlm. 264
[4] Nuruddin Itr, Ulmul Qur’an al karim, hlm. 120
[5] Quraish Shihab, Kaidah tafsir, hlm. 210
[6] Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Mabahits fi Ulumil Qur’an terj. H. Aunur Rafiq el-Mazni, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), cet. 13, hlm. 265
[7] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 121
[8] Abd. Rozak, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2010), hlm. 86
[9] M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2014), hlm. 33-34
[10] Baca (QS. Al-Anbiya’ [21]: 57)
[11] A. Faroqi, Skripsi Analisis Ayat-ayat Mutasyabihat Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Az-Zuhaili, (Semarang: 2016), h. 16-17
[12] Quraish Shihab, Kaidah tafsir, hlm. 214
[13] . Sirajuddin Abbas,40 masalah agama ( Jakarta: Pustaka Tarbiyah, Cet XXV 2006) hal. 17
[14]Syabab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Aqidah Ahlus Sunnah Wal jama’ah, ( Jakarta Barat; Syamaham Press 2003), hlm. 41
[15] . Syabab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Aqidah Ahlus Sunnah Wal jama’ah. Hlm. 150
[16] Syabab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Aqidah Ahlus Sunnah Wal jama’ah. Hlm. 150
[17]. Musthafa al-Gulaini, Jami’al Durus al-Lughah al-‘Arabiyah, ( Beirut: Daar Al-Fikri, 1426 H/2006 M), Hlm. 465.
[18] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm. 127
[19] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm. 128
[20] Jalaluddin As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an (Al-Itqan fi Ulumil Qur’an)  jilid III, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Surabaya 60275, 2008), hlm. 39
[21] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, hlm. 135



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Drama ( keteguhan iman keluarga Yasir Bin Amr)

Contoh Surat Rapat Pembentukan Panitia PHBI

Makalah sejarah dan perkembangan ilmu tafsir