SURAT AMIRA ( Cerpen)

   Malang, Maret 2010, pukul 01:00
             Malam semakin larut Aku tak bisa tidur. Jam dinding dikamarku menunjukan pukul setengah satu. Entah apa yang sedang terjadi denganku kini, aku merindukan sosoknya. Gadis itu... senyumnya.. nasihatnya.. terus berkelebat diotakku. Sudah 3 tahun lebih aku mengenalnya, namun baru kali aku merasakan hal yang berbeda padanya. Ia terlihat begitu mempesona sekarang, padahal aku selalu sekelas dikampus tiga tahun terakhir. Belajar bersama, diskusi, kajian, ikut seminar bahkan kami sering pergi jalan-jalan bersama teman-teman sekelas.      
             Hey .. Azmi What happened with you?!!.. aku perlu mengkontruksi otakku. Kurasa ada yang salah denganku. Tak mungkin tiba-tiba aku begitu merindukannya. Bayangannya seakan terus menghantuiku. Bahkan istighfarku tak mempu menepisnya. Aku harus memflashback kapan perasaan aneh ini mulai muncul dihatiku? Harus! Aku harus mengetahuinya. Lagi pula.. bagaimana mungkin? Gadis itu teman sekelasku.. tiga tahun kami berteman, tak mungkin pula aku jatuh cinta dengannya?. Kuputar memoriku, sekelebat otakku seperti sebuah mesin film yang sedang bekerja, merefresh ulang tiap inci kegiatan yang sudah kulakukan dengannya. Ya .. dengan gadis itu.
          Kupejamkan mata, alunan merdu murattal dari handphone yang sengaja kunyalakan tak lagi terdengar, seluruh otak dan hatiku terfokus pada gadis itu. Memori dikampus, saat diskusi terakhir minggu lalu dikelaskah? Ah.. tidak! Aku bahkan sempat beradu mulut dengannya, atau saat acara jalan-jalan dengan teman-teman sekelas ke kawah putih sebulan yang lalu? Kurasa bukan itu juga. Ah yaa.. ketika bersama mengikuti bakti sosial menolong korban bencana alam di Jogja dua bulan sebelumnya, saat itu kita satu divisi, tapi... kurasa tidak juga.
Allah Rabbii..  Aku menyerah, aku tak tahu kapan perasaan ini muncul. Pukul dua malam, alunan murattal masih menyala. Aku bangkit menuju kamar mandi, mungkin dengan wudhu dan dua raka’at pertiga malam ini aku bisa menepis bayangan gadis itu. Sayyidah Amira...
 Dalam tidur. Aku bermimpi..!
 ***
Pukul 09:35
          Mimpi yang aneh!. Kurasa ini hanya Adghaatsu ahlam atau yang biasa dikenal dengan sebutan bunga tidur. Mungkin karena aku terlalu memikirkan gadis itu malam tadi jadi memimpikannya. Tapi.. kenapa dalam mimpi kulihat Amira menangis lengkap dengan balutan mukena berwarna putih duduk dipojok sebuah masjid? Ahh.. Ini bunga tidur kan? Kenapa aku mesti memikirkannya?. Fokus  Azmi..!
           Kuliah umum psikologi islam pagi ini tak masuk diotakku. Dosen paruh baya dihadapanku terus mentransfer isi buku yang dipegangnnya pada mahasiswa, aku tak lagi fokus, konsentrasiku buyar. Lebih baik aku keluar izin ke toilet, toh sudah diabsen ini tadi saat awal materi dimulai.
“Permisi pak! “ Ujarku ditengah penjabaran materi beliau, seluruh mata menatapku.
“ Iya, Muhammad Azmi.. ada pertanyaan??” jawab pak Drajat.
“ Tidak pak,.. ee.. Tapi saya izin ke toilet..” Jawabku, pelan.
“ Huuuuuuuuuuuuuuu.......!!” serentak seisi kelas bersorak mengejekku, aku tak peduli. Malu tentu saja, tapi           berlama-lama dikelas saat  otak tak lagi mau diajak berfikir itu sia-sia, lebih baik aku keluar.
“ Sudah.. sudah.. jangan bersorak!  kamu ini Azmi!, saya pikir kamu mau bertanya.” Pak Drajat menggeleng, aku   menunduk, seisi kelas masih mentertawaiku tanpa terkecuali Amira.
“ Ya sudah sana!” lanjut pak Drajat lagi.
         Aku males kembali ke kelas. Langkah kaki membawaku menuju masjid kampus, aku perlu menetralisir hati ini. Udara sejuk Ac combo dari pojok ruangan masjid membuatku tentram. Di jam seperti ini masjid sepi, para mahasiswa pasti ada jam pelajaran dikelas. Selesai shalat tahhiyah masjid dua raka’at aku menepi mencari posisi nyaman untuk bersender ke tiang masjid. Lamunanku kembali menerawang...
  Ya rabb... apa yang sedang terjadi denganku.
Gadis itu..
Sayyidah Amira.. Mimpiku malam tadi.. Kenapa Amira menangis? Dan kenapa aku hanya bisa diam melihatnya, namun tak mampu untuk menghiburnya? meredakan kesedihanya.?.          
       Ahh.. Ya! Menghibur... menyemangati. Aku ingat sekarang. Support dari Amira dua bulan yang lalu.  Dua minggu saat kita satu kelompok mengikuti program Baksos yang diadakan oleh LSM kampus di Jogja. Seketika memori otakku berputar.
“ Amira bisa keluar tenda sebentar?” tanyaku lewat pesan sms yang kukirim pada Amira .
“ Bisa ka Azmi, ada apa ya?” Balas Amira, Gadis itu selalu memanggilku kakak padahal kami sekelas, mungkin perbedaan umurku yang setahun diatas dia.
“ Keluar saja dulu.” Jawabku.

Jojga, Januari 2010. Pukul 12 ;45
 Dua bulan yang lalu.              
       Aku tak tahu jika ternyata Amira juga tertarik mengikuti kegiatan yang diadakan Lsm kampus ini, program bantuan sosial untuk korban bencana alam di Jogja. Saat itu aku telat datang, karena harus mengurus LPJ Senat akhir tahun dikampus beberapa hari. Begitu datang aku kaget saat melihat Amira sedang sibuk mengurus sekelompok ibu-ibu yang mengantri diperiksa kesehatan olehnya. Aku bahkan baru mengetahui jika Amira juga aktifis PMR ( palang merah remaja) dikampus. Pantas saja ia begitu bersemangat.
         Hari itu aku benar- benar kalut, banyak masalah yang sedang kupikul. Dekan memarahiku karena deadline LPJku molor beberapa hari sebab kondisi tubuhku yang kurang fit pasca opname gejala typus beberapa hari sebelumnya. skripsiku yang masih mogok di Bab II. Dan telpon Abahku beberapa hari lalu yang mengabarkan bahwa nenek ginjalnya kambuh jadi harus dirawat dan beliau meminta doa dariku. Sementara namaku sudah tercantum sebagai koordianator divisi Kesehatan program LSM ini.
           Baru beberapa hari  disini. Kesalahan fatal sudah kulakukan. Atasanku memarahiku habis-habisan, sebagai ketua koordinator seharusnya aku lebih mengetahui kondisi sekitar dibanding rekan-rekanku. Di evaluasi program saat forum rapat tertutup yang dihadiri seluruh peserta baksos Lsm aku disidang. Dan peraturannya memang seperti itu, yang berbuat kesalahan akan disidang saat evaluasi program agar peserta disiplin dengan kegitan yang tak sepele ini. Aku menunduk ketika tiba –tiba sebuah pukulan mendarat  dipipiku, kaget menahan perih diwajah.
“ Lo tuh udah keterlaluan!. Lu pikir bisa seenaknya berbuat semau lo. Dateng telat!  Ketua macam apa lo!,  lo belum tahu kondisi sekitar sini. Lo baru dateng, belum kerja sedikitpun. jadi mestinya lo juga harus berhati-hati baik dalam tindakan lo maupun ucapan lo. Hah!” Hendy mencecarku, berkali-kali aku meminta maaf jika ucapan atau tindakanku tidak berkenan dihati teman-teman, khususnya dia.
“ Saya minta maaf teman-teman atas ucapan dan tindakan saya yang salah, sejujurnya saya sedang kalut, banyak masalah yang sedang saya pikul beberapa hari ini, pikiran saya terbagi, saya baru datang dari Malang dua hari lalu karena harus mengurus LPJ senat kampus kita, dan telpon dari bapak saya mengabarkan nenek saya yang sedang dirawat, dua minggu yang lalu saya baru pulang menghadiri konferensi Persatuan mahasiswa seindonesia di Sulawesi jadi saya belum istirahat sedikitpun dari dua minggu yang lalu.” Jawabku.
“ Seenggaknya lu jaga prilaku lo, adab lo!” kilas Hendy lagi.    
         Aku terus berusaha meminta maaf atas kesalahnku, namun amarah nampak jelas dimata Hendy terhadapku.  Aku jadi tak enak hati dengan Amira, ia satu-satunya teman sekelasku yang ikut program ini. Amira pasti kecewa denganku. Aku pun sebenarnya malu padanya, tapi aku tak menyangka jika sampai sebesar ini kesalahanku. Kulihat Amira duduk mematung disisi ruangan sambil menunduk. Hendy masih menatapku geram. Ada apa dengannya? Aku rasa tak ada masalah dengan anak ekonomi itu. Tapi dia terlihat sangat tak suka denganku. Berkali-kali aku minta maaf padanya, tapi tak ia hiraukan. Apa sebenarnya masalahnya denganku??. Aku tak mengerti.
      Dua hari pasca evaluasi kemarin keadaannya masih dingin, hendy masih membenciku. Aku sudah beberapa kali mengajaknya berbicara sebagai sikap gentle lelaki, tapi ia tak menggubrisku. Aku merasa terasingkan, tak ada yang menemaniku tiapku bekerja. Sebesar itu kah letak kesalahanku?. Aku bingung.
 ****
           Amira sudah duduk dikursi panjang satu-satunya barang yang tersisa akibat gempa diruang tamu sekolah yang kami tempati untuk menginap dua minggu di Jogja ini.
“ Kakak kenapa?” Amira mendahului sapaku. Aku duduk disampingnya, menunduk, diam sejenak.
“ Sudah dua hari sejak kejadian pas evaluasi lusa kamarin malam, Saya bingung Mira. Saya gak tahu harus bagaimana lagi, sejak kejadian itu saya merasa terasingkan.” Jawabku, pelan. Amira diam mendengarkan, menunggu tiap kalimat yang keluar dari mulutku.
“ Kok kakak ngomongnya gitu?” lanjut Amira, aku tak sanggup meneruskan kata-kata. Amira menatapku. Aku semakin menunduk.
“ Mira.. saya sudah berusaha untuk minta maaf dengannya, tapi dia gak mandang saya, dia cuekin saya, saya harus apa lagi?” lanjutku
“ Saya malu sama Mira. Mira teman sekelas saya. Kejadian ini diluar dugaan saya, Mira .. kalau mira mau tahu, dikepala kepala saya banyak sekali pikiran yang sedang saya pikul” ucapku lagi.  
      Aku jadi mellow dihadapan Amira, padahal sebelumnya tak pernah aku serapuh ini, seberat apapun masalahnya aku bisa atasi, tapi kali ini? Gusti.. kenapa aku cengeng? Aku laki-laki.. aku Pemimpin, aku strong. Aku ketua senat dikampus. Aku sering menghadapi banyak persoalan dikampus sejak aktif di organisasi. Kenapa aku jadi selemah in? Tidak! kenapa denganku?  Ku lihat Amira mengusap embun dimatanya,.Gadis itu menangis. Aku semakin merasa bersalah padanya.
“ Mira jangan menangis.. “ Kataku lagi, air mata Amira semakin deras.
“ Maafin saya ka, saya memang cengeng cepat menangis orangnya ” jawab gadis itu disela- sela tangisnya.
“ Saya juga gak tahu kenapa dia bisa membenci kakak seperti ini, Saya dan teman-teman juga bisa menilai ka     sejak dia memukul kakak. Siapa disini yang tak berprilaku, tak beradab. Sejak kejadian itu saya khawatir kakak gak punya kawan disini, saya lihat panitia lelaki berkubu sekarang. Ka Azmi jangan sedih.. saya masih teman       kakak.” lanjut Amira, Aku terdiam Kata-kata Amira barusan menguatkanku.
“ Amira.. Tolong Support saya, beri saya motivasi, hibur saya.. Apa yang harus saya lakukan.?” Pintaku, Amira    diam, matanya berkaca-kaca.
“Kita masih 10 hari lagi disini, tapi saya khawatir tak sanggup melewati ini, saya juga heran kenapa saya rapuh    kayak gini., mira mengerti kan?” lanjutku. Mira semakin menangis, gadis itu semakin larut dalam kesedihanku.
“ ka azmi,.. beritahu saya.. mira harus hibur kakak seperti apa? Mira juga sedih..lihat kakak sedih seperti ini, ini  pertama kali mira lihat kakak seperti ini, lihat ka azmi tak bersemangat,tapi mira gak tahu bantu kakak apa?  Pokoknya kakak harus kuat, kakak juga jangan nangis, kakak harus semangat, sudah.. kakak jangan pikirkan dia,  mira tetap dukung kakak. Sekarang kita fokus pada tujuan kita disini, kita harus bantu saudara-saudara kita.  Mereka butuh kita, butuh huluran tangan kita.. Bismillah ka azmi bisa atasi ini!. Oh iya, bagaimana kabar nenek  kakak yang dirawat? Sudah baikan beliau?” kata-kata amira barusan bagaikan oase air kesejukan untuk hatiku,  sejenak aku merasa tentram dengar kalimatnya.
“ Beliau masih dirumah sakit, mira doakan ya.” Jawabku.
“ Sudah.. Mira jangan nangis ya..!” Lanjutku, Mira diam. Namun masih sesenggukan.
“ Iya ka, saya gak nangis, saya izin ke belakang dulu ..” pamitnya padaku.
 ***
Malang, Pukul 11:56
          Suara adzan dzuhur menggema menghentak lamunanku. Aku tersadar, Masjid sudah penuh dengan ribuan mahasiswa yang hendak melaksanakan shalat dzhuhur. Aku bangkit keluar masjid menuju tempat wudhu.
“ Azmi! Kemana aja ente?” seseorang menepuk pundakku dari belakang. Ryan, Teman sekelasku.
“ Ane dimasjid, kenapa?” tanyaku balik.
“ Wah.. parah lu,, dicari pak Drajat kau! Haha..” jawabnya
“ Serius?”
“ Bercanda.. haha.” Ryan tertawa, aku menghela nafas lega, kukira pak Drajat benar mencariku.
“ Dassar.. lo, gw kira beneran!”
 “ Dicari Amira, dia titip ini buat lo, buku kau kan?” Ryan menyerahkan buku  “ Tersenyumlah”  karya Dr. Aidh Al-Qarni. Buku yang kupinjamkan pada Amira dua bulan yang lalu, sehari setelah aku cerita padanya tentang masalahku.
“ Oh iya.. Thanks bro!”
“ Yoi..!” Amira..? kenapa dia tidak menyerahkannya langsung padaku?
                                      ***
 Malam hari, Malang 2010 pukul 22:57
      Malam ini jadwalku adalah merevisi skripsiku. Aku harus lulus tahun ini, dan fokus kembali mengejar cita-citaku untuk bisa kuliah di Melbourne University Australia. Kata dosenku ilmu psikologi disana bagus. Abah dan Umi juga sudah menyetujui aku kuliah lagi meneruskan S2.  Walau awalnya Umi menolak, karena umurku sudah 25 tahun. Dan sudah banyak kakak-kakakku yang menikah saat seusiaku. Tapi Abah meyakinkan Umi, apalagi aku laki-laki, tak sesusah kakak-kakak perempuanku jika harus melanjutkan s2 diusia seperti ini. karena harus memikirkan pernikahan. Saat hendak mengeluarkan laptop dan buku-buku dari dalam tas, sebuah surat jatuh dari dalam buku yang kupinjamkan Amira, secarik kertas file berwarna putih.
Aku penasaran. Kubaca perlahan..
Surat dari Amira..?
 “ Salam.. Maafkan Mira sebelumnya ka, Mira gak menyangka jika kakak sedalam ini menaruh perasaan pada Mira. Sebagai wanita biasa,.. Sungguh.. Mira sangat tersanjung. Hati wanita siapa yang tidak berbunga-bunga dicintai oleh lelaki cerdas, pernah nyantri juga, aktifis kampus, mantan ketua senat.
Saat Mira baca tulisan yang kakak tulis samping cover belakang buku Aidh Al-qarni yang kakak pinjamkan ke Mira dua bulan yang lalu. Mira gak tahu harus apa? Sedihkah? Atau bahagia? Karena Mira tak akan mungkin melanggar prinsip Mira, Yaitu TIDAK pacaran setelah menikah. Mira takut Azab Allah. Mira hanya ingin mempunyai hubungan yang Allah Ridhoi, yaitu setelah pernikahan nanti. Maaf mira yang sangat dalam pada kakak.. Jika kakak bersedia menunggu.. Maka tunggu sampai Mira menyelesaikan study S2 Mira nanti, tapi.. Jika kakak.. tidak bersedia.. kakak bisa mencari wanita lain yang seperti kak azmi harapkan.
Alaika Syukran buku motivasinya..
Ahabbakallahulladzi Ahbabtanii lahu..
Nb: Maaf baru sempat balikin bukunya sekarang.. karena kemarin mira juga masih ragu dengan hati mira".
 Sayyida Amira  
       Air mata haru jatuh perlahan dari mataku, Allahu Rabb..Engkau maha tahu, Engkau Maha mendengar..Aku bahkan tak menyadari ada tulisan yang kutulis sendiri dibuku Aid Al-Qarni tersebut. Kubaca tulisanku lagi.. Sebuah tulisan yang kutulis saat hari dimana Air mata tulus Amira menetes karena ikut merasakan kesedihan yang kurasa. Dua hari setelah pembicaraanku dengannya di Jojga dua bulan lalu.
 Duhai Wanita yang berhati lembut.. Alangkah bahagia lelaki yang bisa memiliki hatimu. Kau mampu menjadi penawar luka saat hati ini sakit, kau mampu memberi kesegaran saat hati ini haus akan sikap optimis. Percaya diri, dan jiwa semangat.
 Duhai,.. Ukhtiku.. Begitu tulus hatimu.. Engkau begitu besahaja dibalik jilbabmu, begitu anggun prilakumu, engkau mau merasakan derita saudaramu, padahal ku yakin kau sendiripun mempunyai masalah saat itu.
 Begitu terharu hatiku dengan ketulusan jiwamu, engkau ada saat orang-orang meninggalkanku, menghiburku.. menyemangatiku.. hingga hatiku yakin, dan kembali bangkit dari keterpurukan. Terima kasihku yang tak terkira untukmu.
 Uhibbuk fillah..
             Ya Rabb... sungguh, aku bahkan telah lupa jika pernah menulisnya tapi ini real tulisanku.. dan  aku benar menulisnya sehari setelah gadis itu mendengar ceritaku. Tapi.. kenapa dua bulan ini ia cuek? Tak peduli? Pandai sekali gadis itu merahasiakan perasaannya?
 Amira.. Mungkinkah ini jawaban pertiga malamku dua bulan terakhir ini? Ku yakin kau juga pasti istikharah.. Ya rahman,,.. terima kasih. Malam ini juga, kuketik balasan surat Amira lewat Sms. Aku yakin, gadis itu pasti menunggu balasanku.
 “ Salam.. Ukhti.. terima kasih sekali.. Aku berjanji, aku akan menunggumu. Karena aku juga akan melanjutkan s2ku. Setelah itu aku akan datang mengkhitbahmu... _ M. Azmi_ “
 Cepat aku tekan tombol Sent. Belum semenit balasan Amira datang.
 “Alhamdulillah.. Alaika Syukran Ya akhi.. Amira juga akan menunggu. Amira sudah beritahu umi, umi menyetujui, keputusan ditangan amira karena ayah mira sudah tiada sejak mira kecil.”
Aku tersenyum simpul, air mata bahagia masih kembali jatuh perlahan. cepat kubalas jawaban Amira
“ Allahu akbar.. Uhibbuk Fillah!”
 “ Fabi ayyi Aaalaa irabbikumaa tukadzibaan??”
The end.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Drama ( keteguhan iman keluarga Yasir Bin Amr)

Contoh Surat Rapat Pembentukan Panitia PHBI

Makalah sejarah dan perkembangan ilmu tafsir