Makalah Metodologi Penelitian (Metlit)





PENDEKATAN ILMIAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pascasarjana pada mata kuliah:  Metodologi Penelitian Tafsir



Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA


Disusun Oleh:
Wifa El-Khairah Ramadhan
Rofiatu Muna




PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER (S2)
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA
1439H/2017 M




BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan Al-Qur’an sebagai nikmat terbesar manusia  yang sudah sepatutnya bahkan  wajib untuk kita syukuri. Karena Al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di dunia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Al Qur’an. Oleh karenannya kemudian Al Qur’an di yakini sebagai firman Allah yang menjadi sumber hukum Islam pertama sebelum Hadist.
Banyaknya persoalan manusia yang berkembang dimasyarakat pada akhir-akhir ini, salah satu penyebabnya adalah banyak manusia yang sudah mulai meninggalkan dan melupakan Al Qur’an. Kalau begini maka yang salah adalah kita semua bukan Al Qur’annya. Di dalam Al Qur’an banyak ayat-ayat yang mengandung makna untuk menyelesaikan persoalan manusia baik dalam hubungan muamalah ataupun ’ubudiyah, namun sayang, semua ini belum tergali guna memberikan pencerahan kepada umat manusia.
Dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an diperlukan perangkat-perangkat keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya guna mewujudkan Al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman. Kendati memahami ayat-ayat Al Quran dengan benar tidaklah mudah, oleh karenanya, dalam memahami Al Qur’an diperlukan pendekatan-pendekatan untuk menafsirkan al Qur’an, agar Al Qur’an dapat memberikan jawaban yang pas dan sesuai dengan sekian banyak persoalan yang berk,embang dimasyarakat. Jawaban yang sesuai dan pas dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi Islam yang dikenal sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.
Dalam perkembangannya pendekatan-pendekatan ilmiah yang digunakan para mufassir banyak dan sangat beragam, masing-masing dari pendekatan yang ada pun tidak lepas dari keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Pendekatan Ilmiah apa yang akan digunakan oleh mufasir sangat tergantung pada apa yang hendak diketahui dan dicapainya. Makalah ini secara khusus akan mencoba membahas berbagai macam pendekatan yang kerap dilakukan oleh mufassir dalam menggali mutiara-mutiara ilmu yang terpendam dalam Al-Qur’an.

  1. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Pendekatan Ilmiah?
2.      Bagaimanakah Pendekatan Filologi?
3.      Bagaimanakah Pendekatan Historis?
4.      Bagaimanakah Pendekatan Semantik?
5.      Bagaimanakah Pendekatan Gender?
6.      Bagaimanakah Pendekatan Hermeneutika?

  1. Tujuan
1.      Mendeskripsikan Pendekatan Ilmiah
2.      Mendeskripsikan Pendekatan Filologi dan contohnya
3.      Mendeskripsikan Pendekatan Historis dan contohnya
4.      Mendeskripsikan Pendekatan Semantik dan contohnya
5.      Mendeskripsikan Pendekatan Gender dan contohnya
6.      Mendeskripsikan Pendekatan Hermeneutika dan contohnya









BAB II
PEMBAHASAN
  1. Makna Pendekatan Ilmiah

Secara sederhana, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; PN Balai Pustaka, 1989, pendekatan ilmiah adalah pendekatan disipliner dan pendekatan ilmu pengetahuan yang fungsional terhadap masalah tertentu.[1] 
Pada umumnya pendekatan memiliki pengertian yang sama dengan metode. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisa, dan menyajikan data. Metode memiliki tujuan yang efesiensi dengan cara menyederhanakan. Dengan memanfaatkan metode dan teori baru, pendekatan bertujuan untuk mengakui hakikat ilmiah suatu objek ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pendekatan lebih dekat dengan bidang studi tertentu. [2]
Pendekatan perlu dikemukakan secara agak luas dengan pertimbangan bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat keilmuan tertentu baik secara teoritis maupun praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun masyarakat pada umumnya. Dalam pendekatan juga terkandung kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan, sehubungan dengan dana, waktu dan aplikasi berikutnya. Pendekatan Filologi dengan Historis jelas berbeda, pendekatan semantik jelas berbeda dengan pendekatan Hermeneutik, disebabkan dari sudut mana peneliti memandangnya, kendala-kendala yang akan dihadapi dalam proses penelitian, dan kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap hasil penelitian.
Penelitian sebagian besar, bahkan secara keseluruhan ditentukan oleh tujuan. Pendekatan merupakan langkah pertama dalam mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itulah, dalam pembicaraan ini pendekatan dikemukakan secara agak luas. Pendekatan mendahului teori dan metode, artinya pemahaman mengenai pendekatanlah yang harusnya diselesaikan lebih dahulu, kemudian diikuti dengan penentuan masalah teori, metode dan tekniknya. [3]
Di dalam pendekatan ilmiah, dituntut untuk dilakukan cara-cara atau langkah-langkah dengan tata urutan tertentu sehingga tercapai pengetahuan yang benar dan logis. Menurut Cholid Narbuko , untuk dapat berpikir ilmiah maka akan melalui tiga tahap, yaitu:
1.      Skeptik, yaitu upaya untuk selalu menanyakan bukti-bukti atau fakta-fakta terhadap setiap pernyataan.
2.      Analitik yaitu kegiatan untuk selalu menimbang-nimbang setiap permasalahan yang dihadapinya, mana yang relevan, mana yang menjadi masalah utama, dan sebagainya.
3.      Kritik yaitu berupaya untuk mengembangkan kemampuan menimbangnya selalu objektif. Untuk ini maka dituntut agar data dan pola berpikirnya selalu logis.[4]
Berikut ini, kami suguhkan model-model dalam pendekatan ilmiah dengan berbagai aspek penelitian beserta langkah-langkah dan contohnya.

  1. Pendekatan Filologi
Kata Filologi berasal dari bahasa Yunani “ philologia”, merupakan gabungan dari Philos (cinta) dan logos ( Pembicaraan atau ilmu). Lalu berkembang menjadi: Senang berbicara, senang ilmu, senang belajar, atau bisa juga cinta terhadap tulisan-tulisan yang memiliki nilai sastra yang tinggi. Istilah ini muncul pertama kali pada abad 3 SM oleh orang Iskandaria Erathotenes. Sedangkan menurut istilah, folologi bisa diartikan sebagai Ilmu yang mempelajari naskah-naskah lama untuk memastikan keasliannya, bentuk semula, makna isinya, konteks penulisannya bahkan sampai mengedit naskah kuno menjadi sebuah buku yang bisa dikonsumsi masyarakat. [5]
Secara terminologi, masih banyak perbedaan dikalangan para ahli tentang definisi Filologi. Ada yang mengatakan, filologi adalah ilmu tentang pengetahuan yang telah ada. Atau ada juga yang berkata filologi sebagai ilmu bahasa ( Fiqhul lughah), atau juga ilmu sastra yang tinggi, juga ilmu yang berhubungan dengan studi pada teks-teks kuno, karena sasaran filologi adalah naskah-naskah kuno (Manuscript; Makhtuthat). Dan objeknya yaitu teks ( Isi dari naskah tersebut). Dalam memahami naskah kuno pun masih mengalami perbedaan pendapat, ada yang mengatakan sebuah naskoh baru bisa disebut kuno jika sudah berumur minimal seratus tahun. Namun ada juga yang mensyaratkan naskah tidak harus berumur seratus tahun. [6]
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pendekatan filologi adalah:[7]
1.      Inventarisasi Naskah
Yaitu mencatat dan mengumpulkan naskah kuno, baik dari perpustakaan ataupun perseorangan. Hal ini bertujuan untuk mencari berbagai naskah sejenis, jika memang ada. Sehingga seorang peneliti dapat melakukan perbandingan.
2.      Melakukan kritik teks
Ada 5 metode yang bisa dilakukan dalam melakukan kritik teks.
a.       Metode intuitif, mengambil naskah yang dianggap paling tua.
b.      Metode objektif, meneliti secara sistematis hubungan kekeluargaan antar naskah-naskah atas dasar naskah yang mengandung kesalahan bersama. Maka dapat disimpulkan naskah tersebut bersumber dari satu sumber yang hilang. Dari situ maka akan ditentukan silsilah sumber tersebut.
c.       Metode gabungan, menggabungkan beberapa naskah jika perbedaan antara naskah tersebut tidak terlalu mencolok.
d.      Metode landasan, jika terdapat naskah yang paling unggul diantara naskah-naskah yang lain.
e.       Metode edisi naskah tunggal, dipakai jika peneliti hanya mempunyai satu nasakah. Bisa dilakukan dengan dua cara: Edisi diplomatik, menerbitkan dan menyunting naskah dengan teliti tanpa ada perubahan. Edisi standar atau kritik, menerbitkan dan menyunting naskah apabila ada kesalahan-kesalahan.
3.      Melakukan deskripsi naskah
Menjelaskan atau menggambarkan naskah kuno yang diteliti, darimana asal usulnya, tersimpan dimana, garis besar isinya, kertas bahkan tintanya dan lain-lain.
4.      Pengelompokan dan perbandingan teks
Memilih mana yang paling mendekati keaslian teks
5.      Transliterasi atau Transkripsi
6.      Melakukan penerjemahan
7.      Melakukan kesimpulan
Contoh Pendekatan Filologi
-          Judul: Risalah Sakrat al-Maut karya Abdurrauf Singkel ( Penelitian Filologi atas Naskah Negara) [8]
-          Rumusan Masalah:
1. Bagaimana deskripsi dan suntingan naskah Sakrat al-Maut dalam naskah negara?
2. Apa saja nilai dan ajaran yang terdapat dalam teks naskah Sakrat al-Maut?
-          Metodologi penelitian: Pendekatan Filologis
-          Kesimpulan: Sakrat al-Maut Naskah Nagara merupakan salah satu karya Abdurrauf Assingkili dari sekitar 31 judul karya lainnya. Dilihat dari penyebarannya teks naskah Sakrat al-Maut bukanlah teks populer, karena dalam penelusuran terhadap naskah ini diketahui hanya terdapat 5 naskah yang tersebar di 4 wilayah, yakni di Jakarta, PNRI, sebanyak 2 naskah, di NAD, Dayah Tanoh Abee 1 naskah, di Malaysia, PNM, 1 naskah, dan di Kalimantan Selatan, 1 naskah. Selain minimnya penemuan terhadap naskah ini, uniknya, naskah ini juga tidak disalin sama secara penuh, hingga memunculkan versi yang berbeda, misalnya antara Sakrat al-Maut naskah Nagara dengan naskah Sakrat al-Maut di PNM no. 1314. Sakrat al-Maut naskah Nagara merupakan karya Abdurrauf yang disalin oleh seseorang yang belum diketahui nama penyalinnya. Berdasarkan penelitian terhadap kertas, naskah Nagara merupakan salinan abad ke-19, dan tentu saja terpaut sangat jauh dengan Syekh Abdurrauf sebagai penulis yang hidup di abad ke-17, hal ini menunjukan bahwa Sakrat al-Maut naskah Nagara bukan merupakan naskah awal atau arketif. Selain tentang kematian, teks ini juga berisi tentang ajaran tauhid dan ma’rifat dengan penekanan terhadap makrifat diri sebagai pendekatan terhadap makrifat kepada Tuhan. Semuanya dapat dibaca lengkap pada Lampiran Transkripsi Teks Sakrat al-Maut Naskah Nagara. Di Tanah Banjar, tentang sakratul maut tertuang secara singkat dalam tulisan Syekh Nafi, sedangkan ajaran makrifat diri/pengenalan diri untuk mengenal Allah ini dikembangkan oleh Syekh Muhammad Arsyad dalam Risālah Kanz al-Ma’rifah dengan penjabaran yang berbeda dengan yang dibawakan oleh Syekh Abdurruf dalam Sakratal-Maut.

  1. Pendekatan Historis
Kata “historis” berasal dari bahasa inggris yang berarti Sejarah.[9] Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indoesa (KBBI), historis adalah berkenaan dengan sejarah, bertalian dengan hubungan masa lampau.[10] Sejarah adalah terjemahan dari kata Tarikh ( Bahasa arab), History ( Bahasa Inggris), Geschichte ( Bahasa Jerman). Semua kata tersebut berasal dari Yunani “ Istoria” yang berarti ilmu.
Menurut Prof. Nourozzaman ash-Shiddiqie sebagaimana dikutip oleh Fatah Syukur menjelaskan bahwa sejarah merupakan peristiwa masa lampau yang tidak sekedar informasi tentang terjadinya peristiwa, tetapi juga memberikan interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat kepada hukum sebab akibat. Dengan adanya interpretasi ini, maka sejarah sangat terbuka apabila diketemukan adanya bukti-bukti baru.[11]
Definisi sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusia, baik yang berhubungan dengan manusia maupun gejala alam. Definisi ini memberikan pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa masa lampau manusia dengan seisinya. Maka lapangan sejarah adalah meliputi segala pengalaman manusia. Bisa disimpulkan, bahwa sejarah adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Melalui pendekatan sejarah, seseorang akan diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. [12]
Pendekatan sejarah ini amat diperlukan dalam memahami al-Qur’an karena al-Qur’an itu turun dalam situasi konkrit, bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Karana ketika seseorang ingin mempelajari al Qur’an, maka akan  sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al Qur’an itu  terbagi menjadi dua bagian, yaitu; konsep dan kisah sejarah.
Misalnya seseorang yang ingin memahami al-Qur’an dengan benar maka ia harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu Asbab an-nuzul ( Ilmu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an), yang pada intinya berisi sejarah turunnya al-Qur’an. Dengan ilmu Asbab an-nuzul ini, seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan suatu hukum tertentu dan ditujukkan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya. [13]
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan historis, terdapat beberapa aspek yang harus difahami. Selain itu, ada pula tahapan-tahapan yang harus dilalui. Dalam hal ini, secara garis besar, terdapat lima aspek yang tidak dapat lepas sebagai Prosedur Penelitian Sejarah sebagaimana di bawah ini:[14]
1.      Pra Penelitian
Dalam tahap ini, hal yang perlu dilakukan adalah menentukan sasaran penelitian dan topik. Dari topic yang terpilih nantilah judul dapat ditentukan pula. Judul merupakan abstraksi dari topik yang di dalamnya mencakup unsur objek, subjek, lokasi, dan waktu. Judul yang dipilih nantinya akan menentukan alur lanjutan tahapan penelitian mulai dari latar belakang yang disertai rumusan masalah, signifikansi yang memuat tujuan dan kegunaan penelitian, peninjauan terhadap penelitian terdahulu, landasan teori sebagai acuan konsep dan pemikiran-pemikiran di dalam penelusuran data dan analisis sejarah, metode penelitian yang berisi langkah-langkah, jenis, sifat, dan sudut pandang penelitian, serta sistematika pembahasan yang berguna menjabarkan kerangka penyusunan penelitian.
2.      Pengumpulan Sumber Sejarah (Heuristic)
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan historis, sumber sejarah merupakan hal yang penting. Akurasi sumber sejarah sangat menentukan kekuatan hasil penelitian untuk menampakan fakta yang terjadi. Data sejarah bisa didapatkan dari banyak sumber seperti teks manuskrip, arsip, prasasti, benda-benda peninggalan, maupun informasi dari seseorang yang bersentuhan dengan informasi sejarah. Dalam pendekatan historis, hal yang tidak dapat diremehkan adalah keaslian informasi. Salah satu kesulitan yang biasa dialami adalah upaya mengungkap dan menggali informasi pada masa lampau yang memiliki jarak waktu yang terpaut jauh dengan saat pengumpulan sumber sejarah. Keterbatasan sumber terutama sumber tertulis bisa dibantu dengan sumber peninggalan-peninggalan dan prasasti yang bisa dibantu dengan arkeologi.
3.      Kritik terhadap Sumber Sejarah
Hal yang perlu diketahui adalah bahwa tidak semua tulisan atau paparan sejarah memiliki validitas hal ini menjadikan kritik sumber sejarah merupakan aspek penting dalam penelitian historis. Tidak menutup kemungkinan bahwa sejarah ditulis adalah karena motif dan kepentingan tertentu. Tidak jarang alasan politik, ekonomi, dan berbagai hal lain menjadi alasan sejarah ditulis untuk memenuhi cita-cita maupun untuk menutupi sebuah aib individu maupun kelompok. Dari sini, tidaklah mengherankan jika terkadang dijumpai perbedaan versi dalam sejarah terutama dalam tulisan masing-masing kelompok yang memiliki perbedaan aliran.
Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan historis, terdapat dua kritik sumber sejarah, pertama adalah kritik eksternal dan kedua adalah kritik internal. Kritik eksternal merupakan sebuah pengupasan otentisitas sumber sejarah termasuk pencarian siapa, kapan, di mana sumber sejarah tersebut dibuat. Sedangkan kritik internal lebih mengacu pada isi dari sumber sejarah berupa informasi-informasi yang dibutuhkan dalam mengungkap peristiwa masa silam. Kritik internal bertujuan untuk mengungkap kredibilitas dan validitas, serta menyelami alam piker pengarang. [15] Isi informasi dalam sebuah sumber sejarah bisa dibandingkan dengan isi informasi pada sumberlainnya untuk menguatkan data maupun untuk tahu tentang kemungkinan adanya perbedaan informasi dari masing-masing sumber.
4.      Interpretasi Sejarah
Salah satu hal yang menentukan hasil pengungkapan fakta sejarah adalah aspek Interpretasi sejarah. Pada aspek ini, interpretasi terhadap sumber historis adalah berupa proses pemahaman dan menyusunan fakta sejarah. Dalam penyusunannya, peran sumber sejarah menjadi acuan validitas pengungkapan fakta sejarah, namun aspek subjektifitas peneliti tidak tertutup kemungkinan juga dapat mewarnai hasil dari pengungkapan fakta sejarah. Hal tersebut terjadi dikarenakan penggunaan teori dalam menganalisa sumber sejarah. Dari sini, peran penulis akan mewarnai kerangka, konseptual, dan kategorisasi dalam penulisan fakta sejarah.
Dalam interpretasi sejarah, terdapat beberapa model dan jenis interpretasi. Menurut kuntowijoyo, terdapat dua model interpretasi, pertama adalah analisis dan kedua adalah sintesis. Analisis berarti menguraikan dan sintesis berarti menyatukan. [16]Dalam hal ini, yang dimaksudkan adalah menguraikan data dengan penjabaran secara luas dan menyatukan suatu data sejarah dengan data-data sejarah yang lainnya untuk mengungkap suatu fakta sejarah. Selain itu juga terdapat dua jenis interpretasi, pertama adalah interpretasi monoistik dan kedua adalah interpretasi pluralistik interpretasi monoistik merupakan jenis interpretasi terhadap peristiwa besar dalam aspek tertentu, sedangkan interpretasi pluralistik secara lebih luas mengintegrasikan sejarah dengan lingkup aspek lainnya seperti sosial, budaya, ekonomi dll. Jenis kedua ini mengasumsikan bahwa sejarah tidaklah terlepas dalam menunjukan pola-pola peradaban yang bersifat multikompleks. [17] Menurut Kuntowijoyo, meski memiliki kedekatan, antara pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis dapat dibedakan melalui hubungan diakronis dan singkronis. Pendekatan hstoris menggunakan hubungan diakronis sedangkan pendekatan sosiologis menggunakan hubungan singkronis[18]
5.      Penulisan Sejarah
Penulisan Sejarah merupakan istilah yang biasa dipakai dalam penelitian sejarah. Karena mengacu pada data dan kritik terhadapnya, dalam penelitian historis dibutuhkan penulisan yang bisa mengkolaborasikan dua aspek dengan baik. Aspek tersebut adalah deskripsi dan analisis. Dua aspek ini merupakan corak dari penelitian historis yang di dalamnya selain terdapat pemaparan fakta yang bisa menggambarkan kejadian masa silam, juga terdapat pula bagaimana mencermati secara dalam atas fakta tersebut dari berbagai sudut pandang dengan melibatkan pemikiran.

Contoh Pendekatan Historis
-          Judul: Kisah Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an ( Kajian Nilai-nilai Teologi Moralitas kisah Nabi Ibrahim Persfektif Muhammad A. Khalafullah dan M. Quraish Shihab)
-          Rumusan Masalah: Bagaimana pandangan Muhammad A. Khalafullah dan M. Quraish Shihab terhadap Kisah Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an?
-          Metodologi penelitian: Kualiatif  dengan Pendekatan Historis Biografis 
-          Kesimpulan: Pesan Teologi Kisah Nabi Ibrahim dalam penafsiran keduanya yaitu bentuk pentauhidan yang sungguh-sungguh, yang tidak bercampur dengan kepercayaan-kepercayaan lain yang akan membawa pada bentuk kemusyrikan. Nilai teologi yang diambil dari kisah Nabi Ibrahim ini  akan membawa dampak penyadaran akan hakikat Tuhan sepenuhnya. Penyadaran akan hakikat Tuhan inilah yang nantinya akan menggerakan seorang hamba untuk melakukan perintahNya dan menjauhi segala larangaNya. Sebagai bentuk ketaqwaan padanya. Adapun pesan moral dalam kisah Nabi ibrahim ini adalah, sikap dialog- demokratis dalam menyampaikan perintah Tuhan, sikap santun dan toleran terhadap siapapun, sikap sabar dalam menghadapi kegagalan dalam menjalankan dakwah dan sikap peduli terhadap sesama manusia dengan tetap menjaga solidaritas antara mereka dan lain lain.





D.    Pendekatan Semantik
1.      Definisi Semantik
Semantik berasal dari bahasa Yunani semantikos yang secara etimologis berarti memberi tanda.[19] Asal kata semantik adalah kata sema (nomina) yang artinya tanda atau lambang. Kata kerja dari sema yaitu semanio yang berarti menandai atau melambangkan.[20] Pendapat lain mengatakan bahwa semantik berasal dari bahasa inggris atau bahasa perancis semantics.[21] Sedangkan secara terminologis, definisi semantik yaitu ilmu tentang makna; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran arti kata[22]. Hal ini selaras dengan pernyataan pakar bahasa Cambrigde University tentang semantik, yaitu “semantics is generally defined as the study of meaning”.[23]
Semantik sebagai subdisiplin linguistik mulai dikenal pada abad ke-19. Sebutan untuk semantik pun bermacam-macam, diantaranya ada yang menyebut signifik, semasiologi, semiologi, semiotic, sememmik, dan semik.[24] Berdasarkan pada definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa semantik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang makna bahasa dalam suatu wacana. Namun, semantik bukanlah disiplin ilmu yang berdiri sendiri melainkan ia mempunyai keterkaitan erat dengan disiplin ilmu lain seperti fonologi, morfologi, sintaksis, sosiologi, dan antropologi.[25]
Selain definisi, hal utama yang harus diketahui adalah apa objek kajian semantik. Objek kajian semantik bisa dikatakan sebagai telaah tentang makna yang mencakup tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna satu dengan yang lain, pengaruh makna terhadap manusia dan masyarakat pemakai bahasa, serta seluk-beluk makna setiap pemakai bahasa bagaimana mereka saling mengerti.[26]


2.      Macam-macam Makna
Bagi kalangan umum, untuk mengetahui makna suatu kalimat mungkin cukup dengan merujuk pada kamus. Namun, sebagian besar kamus hanya menyebutkan makna dasar suatu kata. Jika pun terdapat uraian tentang suatu kosakata, maka itu hanya uraian singkat dan umum yang menunjukkan makna kata tersebut. Oleh sebab itu, para ahli semantik diantaranya Leech (1976) yang merumuskan makna di mana makna tersebut termasuk dalam ruang lingkup semantik. Ada tujuh macam makna, (a) makna konseptual, (b) makna konotatif, (c) makna stilistika, (d) makna afektif, (e) makna reflektif, (f) makna kolokatif, dan (g) makna tematik.[27]
Sementara Ainin dan Asrori (2014) memandang klasifikasi makna yang dikemukakan oleh Chaer (2002) lebih sederhana dan lebih sistematis. Berikut klasifikasi makna dari Chaer: (1) makna leksikal dan gramatikal, (2) makna referensial dan non-referensial, (3) makna denotatif dan konotatif, (4) makna kata dan istilah, (5) makna konseptual dan asosiatif, (6) makna idiomatis dan peribahasa, (7) makna kias.[28] Selain macam-macam makna, yang termasuk ruang lingkup pembahasan semantik adalah relasi makna (sinonim, dan antonim, dsb), teori konteks, dan medan makna.
Adapun langkah-langkah analisis[29] semantik, gender, maupun hermeneutik adalah sebagai berikut:
1.    Observasi mentah
2.    Unitisasi
3.    Sampling (menetapkan data yang dianalisis)
4.    Recording (membuat catatan data yang ditetapkan untuk dianalisis)
5.    Reduksi data yang relevan dan tidak relevan
6.    Membuat inferensi (upaya mengoperasionalisasikan antara data dan konteks)
7.    Melakukan analisis
8.    Melakukan validasi
Contoh penelitian dengan pendekatan semantik misalnya penelitian seperti berikut:
-          Judul: “Frase Qaulan Sadida, Ma’rufa, Baligha, Maysura, Layyina, Dan Karima untuk Menemukan Konsep Tindak Tutur Qur’ani”.
-          Rumusan Masalah: Apa konsep al-Qur’an tentang qaulan sadida, ma’rufa dst?
-          Metodologi penelitian: kualitatif dengan pendekatan semantik
-          Kesimpulan: tindak tutur qur’ani yang tercermin dalam keenam frase tersebut setelah ditelaah dan melalui kajian tafsir Ibn Katsir, tafsir al-Maraghi, tafsir al-Azhar karya Hamka, tafsir al-Khazin karya al-Baghawi, dan mu’jam mufradat al-alfadz karya al-Ashfahani mengerucut pada makna berikut: 
Qaulan Sadida bermakna ucapan yang bersifat lemah lembut, jelas, jujur, tepat, baik, dan adil. Qaulan Ma’rufa bermakna ucapan yang bersifat sopan, halus, baik, indah, benar, berarti penghargaan, menyenangkan, baku, dan logis. Qaulan Baligha bermakna ucapan yang bersifat benar, komunikatif, menyentuh hati, dan mengesankan. Qaulan Maysura bermakna ucapan yang mudah dipahami, lunak, indah, halus, bagus, dan optimis. Qaulan layyina bermakna ucapan yang lembut, menyentuh hati dan baik. Qaulan Karima bermakna ucapan untuk memuliakan, penghormatan, pengagungan, penghargaan, dan ucapan yang lemah lembut.

E.     Pendekatan Gender
1.      Definisi Gender
Istilah gender didefinisikan sebagai sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu sebagai  seorang laki-laki atau perempuan.[30] Menurut Santrock,  istilah  gender dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan.[31] Istilah gender ini pertama kali digunakan dalam bidang psikoanalisis sebelum akhirnya dikembangkan dalam wacana feminisme.[32] Namun dalam teori ini, faktor dominan adalah unsur biologis dan menafikan faktor sosial, dan budaya. 
Gender juga didefinisikan sebagai aspek-aspek sosial yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin merujuk pada sifat maskulin dan feminin yang dipengaruhi oleh kebudayaan, stereotype, dan eksistensi diri dalam masyarakat.[33] Dalam beberapa ensiklopedia, istilah gender juga selalu dikaitkan dengan eksistensi kaum maskulin dan feminin dalam masyarakat.
Dalam perspektif Nasaruddin Umar, ayat-ayat al-Qur’an tentang gender dapat disalahpahami, jika tidak ditelusuri latar belakang sosial budaya masyarakat Arab. Pada era sebelum Islam masuk, perempuan selalu menjadi jenis kelamin kedua (the second sex) di setiap level masyarakat. Masyarakat Arab pada waktu itu memiliki ideologi patriarki yang begitu dominan. Segala kebijakan prinsip dari lingkup keluarga sampai lingkup terbesar dalam masyarakat berada di tangan laki-laki. Dalam sistem kekeluargaan pun nama marga selalu ditentukan dengan nama laki-laki, dan laki-laki selalu menjadi pemimpin bagi perempuan dalam segala aspek betapapun hebatnya seorang perempuan.[34]
Studi tentang gender telah memunculkan berbagai aliran pemikiran feminisme yang bisa dijadikan salah satu pendekatan dalam menafsirkan ayat-ayat gender. Aliran pemikiran tersebut diantaranya feminisme liberal, sosialis, radikal, dan ekofeminisme.[35] Beberapa tokoh yang telah melahirkan karya tentang studi gender selain Nasaruddin Umar yaitu Fatima Mernissi dan Amina Wadud. Terkait studi gender, Mereka menyatakan bahwa semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan seimbang dan setara dan semestinya tidak terjadi diskriminasi antara satu dengan yang lain. Pemikiran Fatima dan Amina ini mendapat inspirasi dari feminisme liberal yang menekankan pada prinsip persamaan dan kesetaraan sehingga tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.[36]
Berbeda dengan feminisme liberal, ekofeminisme memandang perbedaan laki-laki dan perempuan itu merupakan sesuatu yang alami yang diciptakan untuk saling melengkapi antar satu dengan yang lain.[37] Tokoh ekofenisime, Douglas Rae menyatakan bahwa walaupun banyak orang menyanjung dan mendukung feminisme liberal dengan konsep kesetaraan menuju relasi yang lebih adil tanpa penindasan antara keduanya tetapi pada kenyataannya ketimpangan dan kebiasan selalu ada dan tidak pernah hilang.[38] Pada intinya, teori ini menuju pada kesimpulan bahwa maskulin dan feminin memiliki karakteristiknya masing-masing yang memiliki pola interaksi berbeda dengan lingkungannya sehingga tidak perlu ideologi feminisme liberal yang seakan berlomba-lomba untuk menjadi maskulin.
Terlepas dari pro-kontra yang ada, gender sebagai sebuah  pendekatan penelitian antara maskulinitas dan feminitas seharusnya seimbang porsi penelitiannya. Namun kenyatannya masih minim penelitian tentang maskulinitas.[39] Hal ini menyebabkan referensi tentang maskulinitas sangat minim jika dibandingkan dengan feminitas. Oleh karena itu, ruang lingkup penelitian yang ditulis dalam makalah ini hanya ruang lingkup penelitian feminisme.
Ruang lingkup penelitian feminis adalah sebagai berikut: (1) Subyektivitas, (2) Hubungan dan Interaksi, (3) Gerakan, Organisasi, dan Struktur Sosial, (4) Kebijakan.[40] Berikut contoh penelitian tentang penelitian Gender[41]:
-          Judul: “Penafsiran Emansipatoris dalam Al-Qur’an (Perspektif Pemikiran Naruddin Umar)”
-          Rumusan Masalah:
1.      Bagaimanakah Biografi Nasaruddin Umar?
2.      Bagaimakah Epistemologi Pemikiran Al-Qur’an Nasaruddin Umar?
3.      Bagaimanakah Identitas Gender dalam Al-Qur’an?
4.      Bagaimanakah Prinsip Kesetaraan Gender menurut Nasaruddin Umar?
5.      Bagaimanakah Penafsiran Emansipatoris Nasaruddin Umar?
-          Metodologi Penelitian: Kualitatif
-          Kesimpulan:
Cara pemahaman yang diperkenalkan oleh Nasaruddin Umar menunjukkan kepada kita bahwa al-Qur’an sesungguhnya memiliki  pesan-pesan  universal  seperti keadilan,  persamaan  hak,  penghormatan terhadap  nilai-nilai  kemanusiaan,  dll.  Atribut gender yang melekat pada laki-laki dan perempuan sesunggunya juga tidak menjadi penghalang untuk mengembangkan potensi-potensi yang  telah dianugerahkan.
F.      Pendekatan Hermeneutika
1.      Definisi Hermeneutika
Nama “hermeneutika” diambil dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Dalam mitologi Yunani, kata kerja dari hermeneuein ini adalah Hermes yang merupakan nama dewa pembawa pesan para dewa di olympus kepada manusia.[42] Keberhasilan Hermes dalam menyampaikan pesan para dewa kepada manusia sangat bergantung pada kemampuannya untuk menafsirkan pesan  tersebut.
Dalam ensiklopedia Britannica disebutkan bahwa hermeneutika adalah “the study of the general principles of biblical interpretation. For both Jews and Christians throughout their histories, the primary purpose of hermeneutics, and of the exegetical methods employed in interpretation, has been to discover the truths and values of the Bible”. Uraian di atas berarti, hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dari penafsiran bibel. Tujuan utama hermeneutika yang digunakan dalam penafsiran bibel bagi orang Yahudi dan Kristen sepanjang sejarah mereka adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai Alkitab.[43]
Dalam Islam, hermeneutika seringkali dibanding-bandingkan dengan ilmu tafsir yang sudah dianggap sebagai metode yang mapan. Islam yang selama ini mempunyai metode penafsiran tersendiri pun ditembus hermeneutika. Ilmu tafsir yang selama ini dijadikan pegangan utama dalam memahami al-Qur’an ternyata memiliki keterbatasan.[44]
Oleh sebab itu jika metode tafsir yang selama ini menempatkan teks sebagai satu-satunya area kajian, maka sudah saatnya segala unsur empiris-psikologis-kultural yang terlibat dalam pembentukan teks itu dieksplorasi. Faktor inilah yang ditemukan dalam pembahasan hermeneutika. Maka hermeneutika menjadi alternatif baru dalam upaya rekonstruksi keilmuan tafsir.[45]
Hermeneutika pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah kepada analisis konteks untuk kemudian menarik makna yang didapat menuju ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika dipertemukan dengan kajian al-Qur’an maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.[46]
Sebagai metodologi, hermeneutika bersifat subyektif dan obyektif. Hermeneutika subyektif dikembangkan Martin Heidger dan Gadamer yang kemudian disebut Verstehen[47] bahwa sebagai pembaca teks kita tidak mempunyai akses langsung kepada penulis disebabkan adanya perbedaan, waktu, ruang, dan tradisi. Sementara aliran obyektivistis yang dikembangkan para tokoh kalsik khususnya Freiderick Schleirmacher dan Wilhelm Dilthey bahwa interpretasi berarti memahami teks.[48]
Dalam perkembangannya, hermeneutika tidak hanya terpaku pada teks yang diam atau bahasa sebagai struktur dan makna namun secara pelan-pelan ia mulai mendeskripsikan penggunaan bahasa atau teks dalam seluruh realitas hidup manusia. hermeneutika berfungsi untuk memahami wacana dengan baik, bahkan lebih baik dari pembuatnya.[49]
Sebagai pendekatan, Hermeneutika memiliki enam karakteristik. Pertama, hermeneutika adalah metode dan seni penafsiran teks secara umum atau kalimat sebagai simbol teks tersebut. Kedua, hermeneutika merupakan metode yang menggabungkan filsafat dan kritik sastra atau sejarah. Ketiga, metode hermeneutika bertujuan untuk mencari makna yang terkandung dalam teks. Keempat, hermeneutika adalah metode tafsir individualis sekaligus objektif-idealis dan mengakui keragaman level metafisika. Kelima, fungsi metode hermeneutika memiliki pembebasan (liberalisme). Keenam, metode hermeneutika sebagai salah satu metode kritis lebih dekat pada spirit ilmu-ilmu fisika.[50]
Hermeneutika sebagai manhaj tafsir (metode penafsiran) mendapat berbagai sambutan. Sebagian kalangan cendekiawan muslim mendukung metode ini, namun sebagian yang lain menolak. Ilmuwan muslim yang mempublikasikan karyanya tentang hermeneutika diantaranya adalah Hassan Hanafi, dan Muhammad Ata As-Sid.[51] Nasr Hamid juga merupakan salah satu ilmuwan muslim yang pro terhadap hermeneutika. Ia menganggap bahwa teks al-Qur’an bukan lagi milik pengarangnya (Allah) melainkan sudah menjadi milik pembacanya karena sudah terlepas dari ruang dan waktu kemunculannya. Dengan demikian,  ia menganjurkan untuk membatasi makna al-Qur’an menurut jaman tertentu dalam sejarah.[52]
Selain mendapat berbagai dukungan dari cendekiawan muslim, rupanya hermeneutika juga banyak ditentang. Salah satu cendekiawan yang menentang hermeneutika adalah Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi. Menurutnya, metode tafsir dalam tradisi intelektual Islam tidak bisa  dibandingkan dengan metode hemeneutika dalam tradisi Yunani ataupun Kristen, apalagi diganti. Sebab, makna realitas dan kebenaran yang menjadi acuan konsep dan teori para hermeneut berbeda jauh dari teori dan konsep Islam.[53] Terlepas dari pro-kontra yang bergulir, Hermenutika memiliki tiga subjek. Pertama, dunia teks. Kedua, dunia pengarang. Ketiga, dunia pembaca. [54]
Berikut ini contoh penelitian dengan pendekatan hermeneutika[55]:
-          Judul: “Pendekatan Hermeneutik dalam Pemahaman Hadis (Kajian Kitab Fath al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani)”
-          Rumusan Masalah:
1.      Bagaimana Pensyarahan Hadis yang Dilakukan Imam Ibn Hajar Al-‘Asqalani dalam Kitab Fath al-Bari Ditinjau dari Pendekatan Hermeneutik?
2.      Prinsip Hermeneutik Apa Saja yang terdapat dalam Pemahaman Hadisnya?
-          Metodologi Penelitian: Kualitatif dengan pendekatan hermeneutika
-          Kesimpulan:
sebagai  penafsir  teks-teks hadis,  Ibn  Hajar  al-`Asqalani  tertumpu  kepada  dunia  masa  lalu, masa awal Islam yaitu masa Nabi saw, sahabat, tabi`in dan tabi` tabi`in. Ia  tidak  melibatkan  isu-isu  yang  terjadi  di  tengah-tengah  masyarakat Islam  pada  masanya  di  Mesir,  Mekkah  dan  Madinah  abad  keenam hijriah. Secara  world view  hermeneutik, Ibn  Hajar bersifat normatif dan berorientasi ke masa Islam klasik, tidak terpengaruh dengan pandangan budaya keilmuan di luar Islam klasik. Dari sisi hermeneutika kebahasaan dan  cakupannya,  Ibn  Hajar  tidak  bertumpu  kepada  pendekatan  bahasa saja,  tetapi  juga  kepada  pendekatan  usul  fiqh,  ulumul  hadis,  dan pendekatan sejarah.  Pendekatan bahasa dan ulumul hadis  lebih  dominan daripada selainnya. Secara tujuan hermeneutika, sebagai seorang ‘alim tentang  pesan  Nabi  saw  kepada  manusia,  Ibn  Hajar  mensyarah  hadis-hadis sahih riwayat al-Bukhari ini tidak keluar selain untuk mengungkap kebenaran  Islam  yang  murni  dari  tabir  ketidaktahuan,  kesulitan  dan kesamaran umat Islam terhadap hadis-hadis Nabi saw. mengingat rentang waktu antara Nabi Muhammad saw-imam al-Bukhari-Ibn Hajar, masingmasing telah berselang berabad lamanya.












BAB III
PENUTUP
     Kesimpulan
Secara singkat pendekatan ilmiah adalah pendekatan disipliner dan pendekatan ilmu pengetahuan yang fungsional terhadap masalah tertentu. Pendekatan ilmiah pengertian yang sama dengan metode. Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisa, dan menyajikan data. Metode memiliki tujuan yang efesiensi dengan cara menyederhanakan. Dengan memanfaatkan metode dan teori baru, pendekatan bertujuan untuk mengakui hakikat ilmiah suatu objek ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pendekatan lebih dekat dengan bidang studi tertentu.
Ada banyak sekali pendekatan ilmiah yang bisa digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an diantaranya: Pendekatan Filologi, Pendekatan Historis, Pendekatan Semantik, Gender, Hermeneutik dan mungkin masih banyak lagi model pendekatan yang bisa dilakukan dalam menafsirkan al-Qur’an., dan tentunya pada setiap pendekatan tersebut memiliki langkah-langkah atau aspek yang berbeda dalam penelitian.












DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman, Dudung. 2006. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Ainin, Moh. dan Asrori, Imam. 2014. Semantik Bahasa Arab. Malang:Bintang Sejahtera
Amir, Mafri. 2013. Literatur Tafsir Indonesia. Tangerang: Mazhab Ciputat
Baron, A. R. 2000. Psikologi Sosial. Bandung: Khazanah Intelektual
Basri. 2006. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Restu Agung
Bryson, Valerie. 1992. Feminist Political Theory: An Introduction. London: Macmillan
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Connel, Raewyn. 2014. Penelitian Maskulinitas Masih Terbatas. Yogyakarta: Humas UGM. (https://ugm.ac.id/id/berita/2769-penelitian.maskulinitas.masih.terbatas). (Online). Diakses pada tanggal 30 Oktober 2017 pukul 24:00 
Corsini, Raymond J. 1999. The Dictionary of Psychology. Philadelphia: Psycology Press
Eman Surya, Mintaraga. 2014. Tafsir Ayat-ayat Gender dalam AL-Qur’an dengan Pendekatan Ekofeminisme: Kritik terhadap Tafsir Feminisme Liberal. Jakarta: Jurnal MUWAZAH vol. 6 no 1
Hamdani, Nurul. 2009. “Pendekatan dalam penelitian sastra”.  Jurnal Ilmiah on Aug 25
http://kbbi.co.id/arti-kata/semantik. (Online). Diakses pada tanggal 26 Oktober 2017 pukul 18:25 WIB
https://ariasusman.wordpress.com/2009/07/06/pendekatan-ilmiah/. (Online) Diakses pada hari senin, 30 oktober 2017, pukul 08.50
https://bloggerkan.blogspot.com/2011/08/penemuan-mayat-firaun.html, (Online) Diakses pada hari senin tanggal 31 oktober 2017 pukul 10.30
https://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika. (Online). Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 pukul 18:01
https://id.wikipedia.org/wiki/Semantik. (Online). Diakses pada tanggal 26 Oktober 2017 pukul 17.30 WIB
https://www.britannica.com/topic/hermeneutics-principles-of-biblical-interpretation. (Online). Diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 pukul 18:34
Ibnu Katsier.2003. Tafsir Ibnu Katsier, terj juz. I. Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Karim, Abdul. 2014. Kerangka Studi Feminisme. Kudus: Jurnal Fikrah vol. 2 no. 1
Lucky, Nella. 2013. Penafsiran Emansipatoris dalam Al-Qur’an (Perspektif Pemikiran Nasaruddin Umar). Pekanbaru: Jurnal Marwah vol. XII no. 2
Lyons, John. 1977. Semantics 1. Cambrigde: Cambridge University Press
Mulyono, Edi Dkk. 2012. Belajar Hermeneutika : Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praktis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD
Nasir, Malki Ahmad. 2004. Hermeneutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas). Jurnal islamia vol. 1 no. 1
Nikelas, Syahwin. 1989. Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa. Jakarta: P2LPTK DEPDIKBUD
Noor Farida, Elok dan Kusrini. 2013. Studi Islam Pendekatan Hermeneutik. Kudus: Jurnal Penelitian Vol. VII No. 2
Rae, Douglas. 1981. Equalities. Cambridge: Harvard University Press
Ramli, Mohd. Anuar. 2012. Analisis Gender dalam Hukum Islam. Malaysia: Journal of Fiqh No. 9
Salim, Fahmi. 2010. Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif
Santrock, J. W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
Setiawan, Ebta.  2010. KBBI Ofline Versi 1,1 Freewere
Shalahuddin, Henri. 2007. Al-Qur’an Dihujat. Depok: Al-Qalam
Sibawaihi. 2007. Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra
Umar, Ahmad Mukhtar. 1998.  Ilmu Dilalah. Kuwait: Maktabah Darul ‘Urubah
Umar, Nasaruddin. 2006. Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir. Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I no. 1
Yahya, Agusni. 2014. Pendekatan Hermeneutik dalam Pemahaman Hadis (Kajian Kitab Fath al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani). Banda Aceh: Jurnal Ar-Raniry vol. 1 no. 2
Zaprulkhan. 2015. Kesetaraan Gender dalam Perspektif al-Qur’an (Studi Kritis Pemikiran Nasaruddin Umar). Bangka Belitung: Jurnal EDUGAMA Vol. 01 No. 01
Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2016. Misykat-Filsafat Tafsir. (http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/16/10/21/ofdpsq-misykat-filsafat-tafsir). (Online). Diakses pada tanggal 1 November 2017 pukul 2:58
http://kbbi.kata.web.id/pendekatan-ilmiah/. (Diakses pada hari senin, 30 Oktober 2017, pikul 09.43)

http://www.quranwebsite.com/ind-tafsit1/Tafsir%20Ibnu%20Katsir%204.3.pdf, ( Pdf diunduh pada hari selasa tanggal 31 Oktober 2013, pukul 19.33)

M. Echol, John dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet XX: (Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1992)

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. xii

Mustaqim, Abdul, Metode Penelitian Al-Qur’an dan tafsir, (Yogyakarta: Idea Press 2017),

Nata, Abudin, Metodologi studi islam, (Jakarta: 2008) hal.35-38

Pdf model pendekatan hitoris dan politik, diunduh pada https://esaagungg.files.wordpress.com/2014/10/makalah-msi-4.pdf, tanpa mana.

Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cet. 5, 2015), hal.6
























[1].  http://kbbi.kata.web.id/pendekatan-ilmiah/. (Diakses pada hari senin, 30 Oktober 2017, pikul 09.43)
[2]. Nurul Hamdani, “Pendekatan dalam penelitian sastra”.  Jurnal Ilmiah on Aug 25, 2009     2. Nurul Hamdani, “Pendekatan dalam penelitian sastra”. Jurnal Ilmiah on Aug 25, 2009
    
[4] . https://ariasusman.wordpress.com/2009/07/06/pendekatan-ilmiah/. (Diakses pada hari senin, 30 oktober 2017, pukul 08.50)
[5]. Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan tafsir, (Yogyakarta: Idea Press 2017), hal. 83
[6]. Ibid Hal. 85
[7] . Ibid. Hal. 89-93
[8] . Lihat Jurnal Imiah ilmu-ilmu keislaman karya Abu Qosim, Muhammad Yusuf dan Fathullah Munadi.
[9]. John M. Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet XX: Jakarta Gramedia Pustaka Utama, 1992, Hal.299
[10]. Ebta Setiawan, KBBI Oflinee, Versi 1,1 Freewere 2010
[11].  Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, cet. 5, 2015), hal.6
[12]. Pdf model pendekatan hitoris dan politik, diunduh pada https://esaagungg.files.wordpress.com/2014/10/makalah-msi-4.pdf, tanpa mana.
[13] . Abudin Nata, Metodologi studi islam, (Jakarta: 2008) hal.35-38
[14]. Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006).hal. 50-54
[15] . Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm. 76
[16] . Ibid. Hal. 78
[17] . Ibid. Hal. 79
[18] . Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. xii
[19] https://id.wikipedia.org/wiki/Semantik, (online) diakses pada tanggal 26 Oktober 2017 pukul 17.30 WIB
[20] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 2
[21] Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu Dilalah, (Kuwait: Maktabah Darul ‘Urubah, 1998), h. 11
[22] http://kbbi.co.id/arti-kata/semantik, (online) diakses pada tanggal 26 Oktober 2017 pukul 18:25 WIB
[23] John Lyons, Semantics 1, (Cambrigde: Cambridge University Press, 1977), h. 1
[24] Moh. Ainin dan Imam Asrori, Semantik Bahasa Arab, (Malang:Bintang Sejahtera, 2014), h. 2 dan 4
[25] Ibid, h. 28
[26] Syahwin Nikelas, Pengantar Linguistik untuk Guru Bahasa, (Jakarta: P2LPTK DEPDIKBUD, 1989)
[27] Moh. Ainin dan Imam Asrori, Semantik Bahasa Arab, (Malang:Bintang Sejahtera, 2014), h. 2, h.34
[28] Ibid., h. 35
[29] Moh. Ainin, Fenomena Pragmatik dalam Al-Qur’an,  (Malang: Misykat, 2010), h. 14-17
[30] Baron, A. R., Psikologi Sosial, (Bandung: Khazanah Intelektual, 2000), h. 188
[31] Santrock, J. W., Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 365
[32] Mohd. Anuar Ramli, Analisis Gender dalam Hukum Islam, (Malaysia: Journal of Fiqh No. 9, 2012), h. 5
[33] Raymond J. Corsini, The Dictionary of Psychology, (Philadelphia: Psycology Press, 1999), h. 405
[34] Zaprulkhan, Kesetaraan Gender dalam Perspektif al-Qur’an (Studi Kritis Pemikiran Nasaruddin Umar), (Jurnal EDUGAMA Vol. 01 No. 01, 2015), h. 13
[35] Mintaraga Eman Surya, Tafsir Ayat-ayat Gender dalam AL-Qur’an dengan Pendekatan Ekofeminisme: Kritik terhadap Tafsir Feminisme Liberal, (Jakarta: Jurnal MUWAZAH vol. 6 no 1, 2014), h.56
[36] Valerie Bryson, Feminist Political Theory: An Introduction, (London: Macmillan, 1992), h. 11
[37] Mintaraga Eman Surya, Tafsir Ayat-ayat Gender dalam AL-Qur’an dengan Pendekatan Ekofeminisme: Kritik terhadap Tafsir Feminisme Liberal, (Jakarta: Jurnal MUWAZAH vol. 6 no 1, 2014), h. 57
[38] Douglas Rae, Equalities, (Cambridge: Harvard University Press, 1981), h. 97
[39] Raewyn Connel, Penelitian Maskulinitas Masih Terbatas, (Yogyakarta: Humas UGM, 2014), Online (https://ugm.ac.id/id/berita/2769-penelitian.maskulinitas.masih.terbatas) diakses tanggal 30 Oktober 2017 pukul 24:00 
[40] Abdul Karim, Kerangka Studi Feminisme, (Kudus: Jurnal Fikrah vol. 2 no. 1, 2014), h. 60-61
[41] Nella Lucky, Penafsiran Emansipatoris dalam Al-Qur’an (Perspektif Pemikiran Nasaruddin Umar), (Pekanbaru: Jurnal Marwah vol. XII no. 2, 2013)
[42] https://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika, (Online) diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 pukul 18:01
[43] https://www.britannica.com/topic/hermeneutics-principles-of-biblical-interpretation, (Online) diakses pada tanggal 27 Oktober 2017 pukul 18:34
[44] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h. 11
[45] Ibid., h. 16
[46] Ibid., h.14
[47] Mengerti: sesuatu hanya dapat dimengerti maknanya jika ditempatkan bersama dengan konteksnya
[48] Elok Noor Farida dan Kusrini, Studi Islam Pendekatan Hermeneutik, (Kudus: Jurnal Penelitian Vol. VII No. 2, 2013), h. 18
[49] Malki Ahmad Nasir, Hermeneutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas), (jurnal islamia vol. 1 no. 1, 2004 ), h. 31
[50] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), h. 138
[51] Nasaruddin Umar, Menimbang Hermeneutika sebagai Manhaj Tafsir, (Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. I no. 1, 2006), h. 34
[52] Henri Shalahuddin, Al-Qur’an Dihujat, (Depok: Al-Qalam, 2007), h. 22
[53] Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat-Filsafat Tafsir, 2016, http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/16/10/21/ofdpsq-misykat-filsafat-tafsir, (Online) Diakses pada tanggal 1 November 2017 pukul 2:58
[54] Edi Mulyono, Belajar Hermeneutika : Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praktis Islamic Studies, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), h. 100
[55] Agusni Yahya, Pendekatan Hermeneutik dalam Pemahaman Hadis (Kajian Kitab Fath al-Bari Karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani), (Banda Aceh: Jurnal Ar-Raniry vol. 1 no. 2, 2014)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Drama ( keteguhan iman keluarga Yasir Bin Amr)

Contoh Surat Rapat Pembentukan Panitia PHBI

Makalah sejarah dan perkembangan ilmu tafsir